A.
Judul
Peningkatan Kemampuan Menggunakan Pengukuran
dan Panjang Melalui Penggunaan Metode Belajar Konstruktivisme (Penelitian
Tindakan Kelas pada Siswa Kelas I SD Negeri 1 Mekarsari, Kecamatan Cimerak,
Kabuaten Ciamis Tahun Pelajaran 2011/2012)
B.
Nama Penulis
TUTI ROHANIATI, S.Pd. SD
C.
Abstrak dan Kata
Kunci
|
Kata Kunci: Pembelajaran Menggunakan
Pengukuran dan Panjang, Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa, dan Metode Belajar
Konstruktivisme
Pembelajaran matematika, khususnya dalam menggunakan pengukuran waktu
dan panjang yang telah dilaksanakan oleh guru dan siswa kelas I SD Negeri 1
Mekarsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis, Tahun Pelajaran 2011/2012 pada
semester 1 menunjukkan kurang berhasil, baik dilihat dari aktivitas belajar
siswa maupun hasil belajarnya. Siswa yang mengalami kesulitan dalam memenuhi
setiap tuntutan pembelajaran, tidak sedikit. Hal ini disebabkan oleh pendekatan
yang digunakan guru dalam pengelolaan proses pembelajaran, kurang tepat. Hal
ini dirasakan sekali oleh guru.Untuk mengatasi masalah tersebut, digunakan
metode belajar konstruktivisme. Metode belajar konstruktivisme merupakan salah
satu metode yang menitikberatkan pada upaya proses belajar siswa untuk
membangun pemahaman secara bertahap. Tugas guru dalam rangka itu bukan saja
memfasilitasi tetapi juga inovator, motivator, dan mediator bagi siswa saat
sedang menempuh tahapan-tahapan pembelajaran berdasarkan langkah-langkah metode
belajar konstruktivisme.Penggunaan metode tersebut menempuh dua siklus
PTK.Setiap siklus terdiri atas empat tahapan, yang ditempuh secara kolaborasi
dengan teman sejawat.Keempat tahapan dimaksud, yakni perencanaan, pelaksanaan,
pengamatan, dan refleksi. Setelah melakukan serangkaian kegiatan tersebut,
terbuktilah bahwa penggunaan metode belajar konstruktivisme dalam pembelajaran matematika
tentang menggunakan pengukuran waktu dan panjang pada siswa
kelas I SD Negeri 1 Mekarsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis, Tahun Pelajaran 2011/2012 dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajarnya. Adanya
peningkatan tersebut, tidak lepas dari upaya sekemampuan guru, baik dalam
merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, mengevaluasi kemampuan
siswa dalam pembelajaran, dan menindaklanjuti hasilnya agar diperoleh
peningkatan yang lebih baik.
D.
Pendahuluan
a.
Latar Belakang
Masalah
Salah satu dari mata pelajaran eksak
yang banyak diminati oleh para siswa, namun dirasakan sulit selama proses
mempelajarinya, adalah Matematika. Persoalan ini patut diperhitungkan dan
dicarikan alternatif pemecahannya yang efektif, mengingat urgensi setiap materi
ajar Matematika sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari siswa. Salah satu upaya yang memiliki nilai
strategis bagi proses belajar siswa dalam mempelajari setiap materi ajar
Matematika, adalah guru melakukan inovasi pembelajaran. Sebenarnya, letak
persoalan mereka bukan karena sulit dalam proses mempelajarinya, melainkan
karena proses pembelajaran yang dikelola guru kurang bermakna bagi siswa. Oleh
karena itu proses belajar siswa kurang terarah, dan ini bukan saja akan
berakibat pada meningkatnya tingkat kejenuhan siswa dalam dan selama
mempelajari materi ajar yang disajikan, tetapi juga akan melahirkan budaya
malas belajar, menjadi benci pada mata pelajaran ini, yang akhirnya hasil
belajar siswa terus menurun.
Benang merahnya uraian di atas, adalah
perlu adanya upaya strategis yang dilakukan guru untuk mengatasi kesulitan
siswa setiap kali mempelajari materi ajar Matematika. Imbauan ini ditujukan
kepada siapa pun gurunya yang mengampu tugas membelajarkan siswa dalam setiap
pembelajaran Matematika. Oleh karena itu, penulis merasa terketuk hati untuk
ambil tindakan proaktif, tentunya melalui upaya inovatif guna mengatasi
persoalan yang sering dihadapi siswa dalam setiap kali mempelajari materi ajar
Matematika. Kesulitan yang selalu dirasakan siswa binaan, tidak sedikit, salah
satu di antaranya dan ini kerap terjadi,
yaitu ketika mempelajari materi ajar melakukan operasi hitung bilangan bulat. Kesulitan mempelajari materi ajar ini bukan saja
dialami oleh siswa sebelumnya, tetapi
dialami pula oleh siswa kelas I SD Negeri 1 Mekarsari pada tahun pelajaran 2011/2012. Berdasarkan hasil refleksi pratindakan, dapat diketahui
sebagian besar siswa (23 orang siswa) berkemampuan kurang dalam memenuhi setiap
tuntutan (tujuan) pembelajaran. Mereka tergolong pada kelompok kurang mampu
dengan perolehan nilai terendah 23. Nilai terendah berada jauh dari kriteria ketuntasan minimal (KKM) atau batas minimal
tuntas belajar untuk mata pelajaran Matematika
di SD Negeri Madura
07, yaitu 55. Sementara selebihnya dari mereka (11 orang
siswa) berkemampuan cukup dalam memenuhi setiap tuntutan pembelajaran. Mereka
tergolong pada kelompok cukup mampu dengan perolehan nilai terendah 73 dan
tertinggi 83.
Refleksi yang dilakukan tidak sampai
di situ, dan ini yang lebih utama karena memiliki nilai strategis, yakni proses
belajar siswa. Saat sedang berlangsung proses kegiatan belajar mengajar,
aktivitas siswa dan guru tampak tidak sinergis. Siswa belajar sesuai dengan
kemauannya, sedangkan guru mengajar sekemampuannya. Dalam pada itu,
masing-masing bukan tidak berusaha. Antarsiswa tidak terjadi saling belajar,
dan apalagi mereka aktif bertanya jawab dengan guru sehubungan dengan banyak
hal yang tidak dan atau kurang dipahaminya. Meski guru sering menganjurkan,
namun tetap saja tidak dimanfaatkan siswa. Hingga proses kegiatan belajar
mengajar materi ajar ini berakhir, suasana tetap tidak berubah.
Selagi
proses belajar siswa tidak bermakna, apa pun materi ajar yang dipelajarinya,
tetap tidak akan berhasil dikuasai. Sejalan dengan pandangan ini, seorang ahli
Matematika mengemukakan sebagai berikut “Siswa yang belajar harus berperan
secara aktif membentuk pengetahuan dan pengertian matematika, bukan hanya
menerima secara pasif dari guru” (Uno, 2007:128). Dalam kaitan ini, menurut
pandangan konstruktivisme, “Anak yang belajar matematika dianggap sebagai
subjek yang memiliki potensi untuk dikembangkan sesuai dengan penalaran. Sebab
anak sejak lahir menggunakan penalaran yang berkembang seiring dengan
pertumbuhan dirinya” (Carpenter dalam Uno, 2007:129). Bisa jadi karena sebab tidak dibelajarkan
seperti itulah, siswa binaan kurang berhasil menguasai materi ajaran ini. Sadar
akan hal itu, dan agar siswa tidak gagal untuk yang kedua kalinya dalam
mempelajari materi ajar ini, guru dan siswa harus mencoba merespon pandangan
konstruksivisme. Benar atau tidaknya metode
tersebut of to date apabila digunakan untuk mengatasi masalah ini, maka
dilakukan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan aktivitas
dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran menggunakan sifat-sifat operasi
hitung.
b.
Identifikasi Masalah
Bertolak
dari uraian di atas, apa yang menjadi masalahnya dapat diidentifikasi, yakni
sebagai berikut.
1.
Pada dasarnya
setiap siswa berkeinginan menguasai materi ajar Matematika dengan mudah, akan
tetapi kenyataannya dalam setiap kali mempelajarinya selalu dihadapkan dengan
kesulitan.
2.
Dampak dari kesulitan
mempelajari setiap materi ajar Matematika, timbul kebencian pada mata pelajaran
ini. Akibatnya, lahirlah budaya malas belajar mempelajari materi ajar apa pun
dalam mata pelajaran Matematika.
3.
Sebab timbulnya
budaya malas belajar siswa dalam setiap mempelajari materi ajar Matematika,
adalah proses pembelajaran yang dikelola guru, kurang bermakna.
4.
Antarsiswa tidak
terjadi saling belajar, enggan untuk bertanya jawab dengan guru, siswa belajar
sesuai dengan kemauannya, dan guru mengajar sekemampuan, ini menunjukkan proses
kegiatan belajar mengajar yang tidak interaktif. Oleh karena itu, hasil belajar
siswa jauh dari yang diharapkan.
5.
Setiap masalah di
atas, akhirnya bermuara pada proses pembelajaran dinilai tidak konstruktif,
melainkan instruktif, yang ditandai oleh pemindahan pesan dari guru ke siswa,
bukan siswa mengonstuksi sendiri berdasarkan rekayasa belajar konstruktivisme,
termasuk dalam pembelajaran melakukan operasi hitung bilangan bulat.
c.
Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan latar
belakang masalah di atas, pokok masalah penelitian ini dapat dirumuskan,
sebagai berikut.
1.
Bagaimana
langkah-langkah strategis meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam
pembelajaran menggunakan
pengukuran waktu dan panjang berdasarkan metode
belajar konstruktivisme?
2.
Bagaimana
peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam
pembelajaran menggunakan
pengukuran waktu dan panjang setelah menempuh
langkah-langkah metode belajar konstuktivisme?
d.
Pemecahan
Masalah
Pemecahan
masalah dalam penelitian tindakan kelas ini menempuh cara belajar matematika
berdasarkan langkah-langkah strategis dari metode konstruktivisme. Termotivasi untuk menggunakan cara ini, diilhami oleh
pandangan konstukrivisme, bahwa “Siswa
yang belajar harus berperan secara aktif membentuk pengetahuan dan pengertian
matematika, bukan hanya menerima secara pasif dari guru” (Uno, 2007:128). Dalam
kaitan ini, menurut pandangan konstruktivisme, “Anak yang belajar matematika
dianggap sebagai subjek yang memiliki potensi untuk dikembangkan sesuai dengan
penalaran. Sebab anak sejak lahir menggunakan penalaran yang berkembang seiring
dengan pertumbuhan dirinya” (Carpenter dalam Uno, 2007:129). Besar harapan
melalui upaya ini berhasil meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam
pembelajaran menggunakan
pengukuran waktu dan panjang.
e.
Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian ini secara lebih khusus dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi
masalah yang dihadapi guru dan siswa dalam pembelajaran menggunakan
pengukuran waktu dan panjang, dan juga untuk
membuktikan keefektifan cara belajar siswa berdasarkan langkah-langkah
strategis metode belajar konstuktivisme. Lebih rincinya, tujuan tersebut adalah
sebagai berikut.
1.
Memperbaiki kinerja
guru dalam mengelola proses pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan
panjang berdasarkan langkah-langkah strategis cara membelajarkan siswa melalui
motede belajar konstruktivisme.
2.
Memperbaiki
akitivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran menggunakan pengukuran
waktu dan panjang berdasarkan langkah-langkah strategis motede belajar
konstruktivisme.
3.
Menguji efektivitas
metode belajar konstruktivisme sebagai upaya meningkatkan aktivitas dan hasil
belajar siswa dalam pembelajaran operasi
hitung bilangan bulat.
4.
Dalam rangka
inovasi pembelajaran bermutu oleh guru untuk siswa.
E.
Kajian Pustaka
8
|
Sehubungan dengan pendapat di atas,
Mulyasa (2003:237) mengemukakan bahwa fokus pendekatan konstruktivisme bukan
pada rasionalitas, tapi pada pemahaman. Inilah alasan utama mengapa
konstruktivisme dengan cepat dapat menggantikan teori perkembangan kognitif
sebagai dasar dalam praktek pendidikan. Daya tarik dari model ini adalah pada
kesederhanaannya.
Diperoleh penjelasan sebagai berikut,
bahwa metode dari dari konstruktivisme
adalah meaningfullearning. Hanya meaningfullearning -lah yang
sesungguhnya pembelajaran (Ausubel dalam Mulyasa, 2003:237). Lebih lanjut
dikemukakan, bahwa pembentukan pengetahuan melibatkan interpretasi kita atas
peristiwa tersebut. Sebelum peristiwa tersebut menjadi pengetahuan kita, dia
harus melewati lapisan yang disebut “interpretasi”. Inilah yang disebut meaningfullearning. Interpretasi ini
adalah suatu proses berpikir yang singkat dan cepat yang terjadi dalam otak
kita (Mulyasa, 2003:238).
Interpretasi berada di antara peristiwa
yang dilihat dan pemahaman kita tentang peristiwa itu. Interpretasi ini
dipengaruhi oleh pengalaman pada masa lampau, oleh teori, nilai, dan
kepercayaan yang yang dimiliki sebelumnya. Karena itu, seorang ahli ilmu sosial
tidak pernah bisa mengatakan bahwa seseorang punya pengetahuan yang exact tentang sesuatu realitas.
Pengetahuan merupakan bukan satu foto dari suatu peristiwa sosial, tapi seperti
sebuah lukisan impresisionistik dari seorang seniman tentang peristiwa
tersebut. Pengetahuan bukan merupakan suatu duplikat yang persis sebagaimana
bentuk peristiwa itu sebenarnya, tapi hasil satu interpretasi terhadap
peristiwa itu.
Pernyataan, bahwa pengetahuan dikonstruksi
(dibangun dalam pikiran) dari hasil interpretasi atas suatu peristiwa, membawa
sebagian orang pada kesimpulan bahwa semua pengetahuan adalah bersifat
subjektif. Pengetahuan sangat dipengaruhi oleh pola pikir orang tersebut.
Sementara itu, sebagian orang lain namun, yang pasti semua pengetahuan dapat
bersifat salah, yaitu kesalahan yang terjadi karena salah persepsi dan salah
interpretasi atas suatu peristiwa.
Menurut Mulyasa (2003:238) semua
pengetahuan dapat salah (tidak selalu benar), karena hakekat pengetahuan adalah
kurang exactitude dan kurang comprehensiveness. Prinsip ini disebut epistemologicalfallibism. Inilah dasar
filsafat dari model konstruktivisme. Pada puncaknya, kita tidak pernah yakin
berapa diikat jarak antara pengetahuan yang dibangun tentang suatu peristiwa
sosial dengan realitas yang sesungguhnya dari peristiwa sosial tersebut.
Pengetahuan adalah hasil dari meaningfulinterpretation
(interpretasi penuh makna) terhadap pengalaman kita dengan suatu peristiwa
sosial.
Jika penemuan awal dari suatu
pengetahuan adalah melalui meaningfulinterpretation,
maka pembelajaran terhadap pengetahuan tersebut pada tingkat selanjutnya
seharusnya melibatkan meaningfulinterpretation.
Jadi, tidak ada yang belajar melalui transmisi. Pada dasarnya tidak ada
perbedaan antara penemuan awal sebuah pengetahuan ilmiah tersebut oleh seorang murid dalam kelas.
Keduanya memerlukan tindakan interpretasi.
Perlu ditegaskan bahwa tidak ada orang
yang belajar seperti mengopi satu file
komputer dari floppydisk ke harddisk. Orang selalu belajar dengan
cara membuat apa yang dialaminya masuk akal (makesenses). Kita baru dikatakan telah belajar tentang sesuatu
ketika sesuatu itu adalah masuk akal bagi kita. Pembelajaran adalah proses
aktif mengonstruksi (membangun sesuatu dalam pikiran), atau merangkum saru
kerangka konsep. Dengan model konstruksi dan pembelajaran meaningful maka peristiwa-peristiwa yang dialami manusia menjadi
masuk akal (makesenses) bagi diri
mereka.
Model pembelajaran konstruktivisme
memperlihatkan bahwa pembelajaran merupakan proses aktif dalam membuat sebuah
pengalaman menjadi masuk akal, dan proses ini sangat dipengaruhi oleh apa yang
sudah diketahui orang sebelumnya. Karena itu, dalam setiap kegiatan
pembelajaran guru harus memperoleh, atau sampai pada, persamaan pemahaman
dengan peserta didik. Dalam model konstruktivisme, pembelajaran melibatkan
negosiasi (pertukaran pikiran) dan interpretasi. Wacana penyesuaian pikiran ini
dapat dilakukan antara murid dengan guru, antara sesama murid. Karena itu metode pembelajaran kooperatif (kerjasama) adalah
sangat ideal. Dalam model konstruktivisme harus tercipta hubungan kerjasama
antara guru dengan murid, dan antara sesama murid.
Metode pokok dari model pembelajaran konstruktivisme
adalah activelearning yang mengajak
peserta didik berpikir dan memahami materi pelajaran, bukan sekadar mendengar,
menerima, dan mengingat-ingat. Setiap unsur materi pelajaran darus diiolah dan diinterpretasikan sedmikan
rupa sehingga masuk akal. Pengetahuan baru terbentuk dari sesuatu yang masuk
akal. Sesuatu yang tidak masuk akal tidak akan menempel lama dalam pikiran. Metode ini berbeda dari metode menghafal. Dalam
metode menghafal, pserta didiknya mendengar dan menerima, kemudian
menginat-ingat materi pelajaran yang diterima tersebut. Kadang-kadang terdapat
materi yang kurang dipahami peserta didik, bukan tidak masuk akal peserta
didik. Namun, karena materi tersebut sudah ada dalam paket pelajaran, dan ada
keharusan bagi peserta didik untuk menghafalnya, maka peserta didik diam saja
menerima. Motode ini disebut “chalkandtalk”.
Dalam metode ini, pihak yang lebih aktif adalah guru. Sementara itu peserta
didik lebih bersifat pasif. Metode ini juga dikenal dengan istilah receptivelearning. Dalam metode ini,
pembelajaran terjadi dalam situasi rutin dan membosankan. Materi pelajaran,
meskipun diterima dan dihafal, namun mudah terlupakan, karena materi tersebut
tidak diterima melalui pemahaman yang masuk akal, tetapi melalui instruksi
transmisi.
Dalam metode meaningfullearning,
peserta didik digalakan untuk aktif. Peserta didik adalah pusat dari kegiatan
belajar mengajar. Peserta didik harus dilibatkan dalam tanya jawab yang
terarah. Peserta didik digalakan untuk bertanya dan mencari problemsolving. Peserta didik harus
didorong untuk menaksirkan informasi yang
diberikan oleh guru, hingga informasi tersebut dapat diterima oleh akal
sehat mereka. Metode seperti ini
memerlukan pertukaran pikiran, diskusi, dan perdebatan, dalam rangka mencapai
pengertian yang sama atas setiap materi pelajaran. Kadang-kadang dalam mencapai
pemahaman tersebut, mungkin diperlukan roleplaying,
activeplaying (belajar aktif), interpretation (penafsiran), makesense (masuk akal), negotiation (pertukaran pikiran), cooperative (kerjasama), dan inquiry (menyelidiki) adalah beberapa
kata kunci dalam model pembelajaran konstruktivisme (Mulyasa, 2003:241).
Dengan pendekatan pembelajaran seperti
ini, pengetahuan dapat diterima dan tersimpan lebih baik, karena pengetahuan
tersebut masuk otak setelah melalui proses masuk akal. Yang tidak masuk akal
dikesampingkan. Karena tersimpan secara mendalam, meski pernah lupa,
pengetahuan tersebut mudah untuk dipelajari kembali. Lagi pula, karena materi
tersebut dipahami dengan baik, maka materi tersebut sewaktu-waktu dapat
digunakan dalam situasi baru yang berlainan dari situasi waktu belajar
mengajar.
Dalam metode activelearning, setiap materi pelajaran yang baru harus dikaitkan
dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman yang ada sebelumnya. Materi
pelajaran yang baru disesuaikan secara aktif dengan pengetahuan yang sudah ada.
Karena itulah, dalam model konstruktivisme, kegiatan belajar mengajar harus
dimulai dengan hal yang sudah dikenal dan dipahami peserta didik. Barulah
setelah itu guru menambahkan unsur-unsur pelajaran yang baru yang disesuaikan
dengan pengetahuan yang ada tersebut secara aktif.
Agar peserta didik belajar secara
aktif, guru perlu menciptakan metode yang
tepat, sedemikian rupa, sehingga peserta didik mempunyai motivasi yang tinggi
untuk belajar. Motivasi yang seperti ini akan dapat tercipta kalau guru dapat
meyakinkan peserta didik akan kegunaan materi pelajaran bagi kehidupan nyata
mereka. Demikian juga, guru harus dapat menciptakan situasi sehingga materi
pelajaran selalu tampak menarik, tidak membosankan. Guru harus punya
sensitifitas yang tinggi untuk segera mengetahui apakah kegiatan pembelajaran
sudah membosankan siswa. Jika hal ini terjadi, guru harus segera mencari metodologi pembelajaran baru yang lebih tepat
guna dan tepat sasaran.
Dari uraian di atas, diperoleh beberapa
butir yang perlu selalu diingat guru dalam mengimplementasikan model pembelajaran
konstruktivisme, yakni sebagai berikut.
1.
Pusat kegiatan
belajar mengajar adalah peserta didik yang aktif.
2.
Pembelajaran
dimulai dari yang sudah diketahui dan dipahami peserta didik.
3.
Bangkitkan motivasi
belajar peserta didik dengan membuat materi pelajaran sebagai hal yang menarik
dan berguna bagi kehidupannya.
4.
Guru harus segera
mengenali materi pelajaran dan metode pembelajaran yang membuat peserta didik
bosan. Ini harus segera ditanggulangi.
Dari
beberapa pendapat di atas diperoleh butir-butir khusus tentang hakekat
pembelajaran konstruktivisme, sebagaimana dikemukakan Mulyasa (2003:239), yang
berikut ini.
1.
Siswa harus selalu
aktif selama pembelajaran.
2.
Proses aktif ini
tidak terjadi melalui transmisi, tapi melalui interpretasi.
3.
Interpretasi selalu
dipengaruhi oleh pengetahuan sebelumnya.
4.
Interpretasi
dibangun oleh metode instruksi yang memungkinkan negosiasi pemikiran (bertukar
pikiran), melalui diskusi, tanya jawab, dan sebagainya.
5.
Tanya jawab
didorong oleh kegiatan inkuiri (ingin tahu) para siswa. Jadi kalau siswa tidak bertanya/tidak bicara berarti dia
tidak belajar secara optimal.
6.
Kegiatan belajar
mengajar tidak hanya merupakan suatu proses pengalihan pengetahuan, tapi juga
pengalihan keterampilan dan kemampuan.
Ada beberapa langkah konkret yang
harus diupayakan guru dalam mengelola proses belajar siswa bila menggunakan
model pembelajaran konstruktivisme. Beberapa langkah dimaksud dijelaskan
Mulyasa (2003:243) dalam rangkaian tahapan berikut. Pertama, tahap
pemanasan-apersepsi selama lebih kurang 5 s.d. 10 menit, dengan langkah-langkah
berikut: (1) pelajaran dimulai dengan hal-hal yang diketahui dan dipahami
peserta didik; (2) motivasi peserta didik dengan bahan ajar yang menarik dan
berguna baginya; (3) peserta didik didorong agar tertraik untuk mengetahui
hal-hal yang baru. Kedua, tahapan eksplorasi selama lebih kurang 25 s.d. 30 menit,
dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) materi/keterampilan baru
diperkenalkan; (2) libatkan siswa secara aktif dalam problemsolving; (3) letakkan penekanan pada kaitan struktural,
yaitu kaitan antara materi ajar yang baru dengan berbagai aspek kehidupan di
dalam lingkungan; dan (4) cari metodologi yang paling tepat sehingga materi
ajar dapat terproses menjadi bagian dari pengetahuan peserta didik. Ketiga,
tahapan konsolidasi pembelajaran, dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1)
melibatkan peserta didik secara aktif dalam menafsirkan dan memahami materi
ajaran baru; (2) libatkan siswa secara aktif dalam problem solving; (3) letakkan penekanan pada kaitan structural,
yaitu kaitan antara materi ajar yang baru dengan berbagai aspek
kegiatan/kehidupan di dalam lingkungan; dan (4) cari metodologi yang paling
tepat sehingga materi ajar dapat terproses menjadi bagian dari pengetahuan
peserta didik. Keempat, tahapan
pembentukan sikap dan perilaku selama lebih kurang 10 menit, dengan
langkah-langkah sebagai berikut: (1) peserta didik didorong untuk menerapkan
konsep/pengertian yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari; (2) peserta
didik membangun sikap dan perilaku baru dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan
pengertian yang dipelajari; dan (3) cari metodologi yang paling tepat agar
terjadi perubahan pada sikap dan perilaku peserta didik. Kelima, tahap penilaian
formatif selama lebih kurang 10 menit, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
(1) kembangkan cara-cara untuk menilai hasil pembelajaran peserta didik; (2)
gunakan hasil penilaian tersebut untuk melihat kelemahan atau kekurangan
peserta didik dan masalah-masalah yang dihadapi guru; dan (3) cari metodologi yang paling tepat yang
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
F.
Metodologi Penelitian
a.
Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini,
yaitu siswa kelas I SD Negeri 1 Mekarsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis
Tahun Pelajaran 2011/2012, yang terdiri atas 16 orang siswa berjenis kelamin
perempuan dan 18 orang siswa berjenis kelamin laki-laki, yang sedang menempuh
semester 2 dalam mata pelajaran matematika.
b.
Setting Penelitian
Setting dalam
penelitian ini meliputi: tempat dan waktu penelitian, serta siklus PTK.Lebih
jelasnya mengenai hal itu, sebagai berikut.
c.
Tempat Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini
dilaksanakan di SD Negeri 1 Mekarsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis.
Pemilihan sekolah ini bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan pengelolaan
proses pembelajaran mata pelajaran matematika.
d.
Waktu Penelitian
Penelitian ini akan
dilaksanakan pada awal tahun ajaran baru 2011/2012, yaitu bulan Januari sampai
dengan Maret 2011. Penentuan waktu penelitian mengacu pada kalender akademik
sekolah, karena PTK memerlukan beberapa siklus yang membutuhkan proses belajar
mengajar efektif di kelas.
e.
Siklus PTK
PTK ini dilaksanakan melalui
dua siklus untuk melihat peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam
pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang berdasarkan
langkah-langkah metode belajar konstruktivisme.
f.
Prosedur Penelitian
Alur penelitian ini menempuh
prosedur penelitian tindakan kelas, yang berupa siklus perbaikan pembelajaran
yang dilakukan secara kolaborasi antara guru pelaksana tindakan, teman sejawat
dan kolabolator, serta siswa. Dalam setiap siklusnya, terdapat empat tahapan,
antara lain: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi.
Penelitian ini akan menempuh tiga siklus, seperti tampak pada gambar
berikut.
Gambar 1Alur Penelitian
Tindakan Kelas Secara Umum
|
G.
Hasil Penelitian
dan Pembahasan
a.
Hasil Penelitian
Siklus I
Pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar menggunakan pengukuran waktu dan panjang berdasarkan langkah-langkah metode
belajar konstruktivisme pada siklus I, cukup memberi
dampak yang baik terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa. Hal ini merupakan
hasil usaha guru dalam membimbing dan mengarahkan seluruh siswa pada tahapan
belajar mengonstruksi materi pembelajaran yang harus dikuasainya setelah KBM
siklus I berlangsung.Berdasarkan hasil pengematan, penilaian, dan catatan
pengamat terhadap aktivitas belajar siswa menunjukkan sebagai berikut.
1.
Aktivitas
guru dan siswa pada tahap kegiatan awal, tampak ada kesan kaku, yang disebabkan
oleh belum terbiasa memulai kegiatan pembelajaran seperti itu.
2.
Motivasi
yang dilakukan guru, cukup menyentuh perasaan siswa, yang tampak dari semangat
siswa untuk mengikuti proses pembelajaran.
3.
Sebagian
besar waktu pada kegiatan inti, lebih banyak digunakan guru untuk menyajikan
materi, dan sisanya digunakan untuk mengerjakan tugas, membahas hasil
penugasan, dan uji kompetensi.
4.
Sebagian
besar siswa kurang aktif dalam bertanya jawab, baik dengan guru maupun siswa.
5.
Tugas
guru, baik sebagai mediator maupun fasilitator bagi siswa, dinilai masih
kurang. Hal ini karena pembelajaran lebih mengutamakan tersampaikannya materi
ajar kepada siswa. Hal ini telah berdampak kurang baik terhadap aktivitas
belajar siswa, baik pada saat mendata pokok-pokok berita maupun ketika
mengembangkannya menjadi sebuah teks berita yang diinginkan.
6.
Dalam
menghadapi situasi tersebut, tidak ada upaya yang dilakukan guru, sehingga
sampai pada akhir kegiatan inti siswa tampak masih menghadapi masalah dalam
menulis teks berita yang diinginkan.
Guna melengkapi
catatan hasil pengamatan di atas, berikut ini disertakan penilaian para
pengamat terhadap kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran siklus I. Hasil penilain
tersebut, dapat dituangkan kembali pada tabel berikut.
Tabel
4.1
Penilaian Pengamat
terhadap Kemampuan Guru
dalam Mengelola Proses Pembelajaran pada Siklus 1
No.
|
Indikator
Kemampuan
|
Nilai
Pengamat 1
|
Nilai
Pengamat 2
|
||
Kuantitas
|
Kualitas
|
Kuantitas
|
Kualitas
|
||
1
|
Kemampuan
menguasai kondisi awal pembelajaran
|
56
|
Cukup Mampu
|
58
|
Cukup Mampu
|
2
|
Kemampuan
menjelaskan langkah-langkah pembelajaran
|
57
|
Cukup Mampu
|
58
|
Cukup Mampu
|
3
|
Kemampuan
memotivasi siswa di awal pembelajaran.
|
57
|
Cukup Mampu
|
58
|
Cukup Mampu
|
4
|
Kemampuan
mengondisikan siswa untuk mengikuti kegiatan inti pembelajaran.
|
57
|
Cukup Mampu
|
59
|
Cukup Mampu
|
5
|
Kemampuan
menyajikan materi pembelajaran
|
57
|
Cukup Mampu
|
57
|
Cukup Mampu
|
6
|
Kemampuan
bertanya kepada siswa dan menjawab pertanyaan dari siswa.
|
60
|
Cukup Mampu
|
65
|
Cukup Mampu
|
7
|
Kemampuan
membimbing dan mengarahkan siswa dalam belajar.
|
56
|
Cukup Mampu
|
62
|
Cukup Mampu
|
8
|
Kemampuan
membahas tugas.
|
60
|
|
63
|
|
9
|
Kemampuan
memberikan penghargaan kepada siswa yang unggul dalam kemampuan memenuhi
tuntutan pembelajaran.
|
60
|
Cukup Mampu
|
65
|
Cukup Mampu
|
10
|
Kemampuan
memberi simpulan sehubungan dengan materi pembelajaran yang telah disampaikan
kepada siswa.
|
60
|
Cukup Mampu
|
60
|
Cukup Mampu
|
11
|
Kemampuan
melaksanakan evaluasi dan mengawasi jalannya evaluasi.
|
65
|
Cukup Mampu
|
67
|
Cukup Mampu
|
12
|
Kemampuan
memberikan bahan tindak lanjut.
|
57
|
Cukup Mampu
|
59
|
Cukup Mampu
|
13
|
Kemampuan
menutup kegiatan pembelajaran.
|
60
|
Cukup Mampu
|
63
|
Cukup Mampu
|
Jumlah
|
762
|
|
794
|
|
|
Rata-rata
|
58,61
|
|
61,1
|
|
Keterangan :
Nilai 76, 00 - 100,00,
berarti mampu
Nilai 56,00 - 75,00, berarti cukup mampu
Nilai 26,00 - 55,00, berarti kurang mampu
Nilai 1,00 -
25,00, berarti tidak mampu
Selain
memberikan penilaian terhadap kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran
siklus 1, para pengamat pun menilai kemampuan siswa dalam mengikuti jalannya
proses pembelajaran, baik dilihat dari minat, perhatian, partisipasi, maupun
motivasi, seperti tertuang pada lembar observasi PTK siklus 1. Adapun hasil
penilaian tersebut, dituangkan pada tabel berikut.
Tabel 4.2
Penilaian Pengamat terhadap Kemampuan Siswa dalam Mengikuti Proses
Pembelajaran Siklus 1
No.
|
Nama
|
Minat
|
Perhatian
|
Partisipasi
|
Presentasi
|
||||||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1
|
Subjek 01
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
2
|
Subjek 02
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
3
|
Subjek 03
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
4
|
Subjek 04
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
5
|
Subjek 05
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
6
|
Subjek 06
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
7
|
Subjek 07
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
8
|
Subjek 08
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
9
|
Subjek 09
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
10
|
Subjek 10
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
11
|
Subjek 11
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
12
|
Subjek 12
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
13
|
Subjek 13
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
14
|
Subjek 14
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
15
|
Subjek 15
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
16
|
Subjek 16
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
17
|
Subjek 17
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
18
|
Subjek 18
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
19
|
Subjek 19
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
20
|
Subjek 20
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
21
|
Subjek 21
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
22
|
Subjek 22
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
23
|
Subjek 01
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
24
|
Subjek 02
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
25
|
Subjek 03
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
26
|
Subjek 04
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
27
|
Subjek 05
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
28
|
Subjek 06
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
29
|
Subjek 07
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
30
|
Subjek 08
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
31
|
Subjek 09
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
32
|
Subjek 10
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
33
|
Subjek 11
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
34
|
Subjek 12
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
Keterangan:
Nilai 4 :Baik
Nilai 3 :Cukup Baik
Nilai 2 : Kurang Baik
Nilai 1 : Tidak Baik
Selain itu, hasil belajar siswa pada siklus I pun mengalami peningkatan.
Hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan pada aktivitas belajar
siswa.Berdasarkan evaluasi siklus I, diperoleh nilai hasil belajar siswa
seperti tertuang pada tabel berikut.
Tabel 4.3
Nilai Hasil Belajar Siswa pada Siklus 1
No.
|
Nama Siswa
|
Sesudah PTK Siklus 1
|
||
Tuntutan
1
|
Tuntutan
2
|
NK
|
||
1
|
Subjek 01
|
20
|
49
|
69
|
2
|
Subjek 02
|
18
|
42
|
70
|
3
|
Subjek 03
|
17
|
43
|
70
|
4
|
Subjek 04
|
16
|
52
|
68
|
5
|
Subjek 05
|
20
|
50
|
70
|
6
|
Subjek 06
|
20
|
55
|
75
|
7
|
Subjek 07
|
18
|
50
|
68
|
8
|
Subjek 08
|
15
|
46
|
61
|
9
|
Subjek 09
|
20
|
65
|
85
|
10
|
Subjek 10
|
20
|
40
|
60
|
11
|
Subjek 11
|
19
|
51
|
70
|
12
|
Subjek 12
|
15
|
43
|
58
|
13
|
Subjek 13
|
20
|
56
|
76
|
14
|
Subjek 14
|
23
|
66
|
89
|
15
|
Subjek 15
|
13
|
42
|
55
|
16
|
Subjek 16
|
13
|
44
|
57
|
17
|
Subjek 17
|
13
|
55
|
58
|
18
|
Subjek 18
|
24
|
66
|
90
|
19
|
Subjek 19
|
14
|
43
|
57
|
20
|
Subjek 20
|
13
|
47
|
60
|
21
|
Subjek 21
|
14
|
43
|
57
|
22
|
Subjek 22
|
13
|
47
|
60
|
23
|
Subjek 01
|
20
|
49
|
69
|
24
|
Subjek 02
|
18
|
42
|
70
|
25
|
Subjek 03
|
17
|
43
|
70
|
26
|
Subjek 04
|
16
|
52
|
68
|
27
|
Subjek 05
|
20
|
50
|
70
|
28
|
Subjek 06
|
20
|
55
|
75
|
29
|
Subjek 07
|
18
|
50
|
68
|
30
|
Subjek 08
|
15
|
46
|
61
|
31
|
Subjek 09
|
20
|
65
|
85
|
32
|
Subjek 10
|
20
|
40
|
60
|
33
|
Subjek 11
|
19
|
51
|
70
|
34
|
Subjek 12
|
15
|
43
|
58
|
Pada tabel di atas, diketahui
keseluruhan siswa memperoleh nilai hasil belajar lebih dari kriteria ketuntasan
minimal (KKM) yang telah ditetapkan, yaitu nilai 55.
Untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran
siklus I, telah dilakukan refleksi
terhadap kinerja guru dan siswa, yang dilakukan secara kolaborasi antara guru
pelaksana tindakan dan pengamat.Adapun hasilnya, sebagai berikut.
1.
Kinerja
guru dalam mengelola proses pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang
yang disajikan dengan menggunakan metode belajar konstruktivisme pada siklus I,
diketahui meningkat. Peningkatan kinerja guru tersebut ditunjukkan oleh
kemampuannya dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, dan mengevaluasi serta menindaklanjuti hasilnya. Berdasarkan
hasil penilaian kedua orang pengamat, diperoleh rata-rata nilai cukup mampu
untuk masing-masing tahap dalam proses pembelajaran tersebut.
2.
Kinerja
siswa dalam mengikuti proses pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan
panjang yang disajikan dengan menggunakan metode belajar konstruktivisme pada
siklus I, diketahui meningkat. Hal ini diketahui dari partisipasi, minat,
perhatian, dan motivasi masing-masing siswa yang sebelumnya banyak yang tidak partisipasi,
tidak berminat, tidak perhatian, dan tidak bermotivasi setelah melalui
penggunaan strategi menjadi meningkat pada kategori kedua dan ketiga. Dari 34
orang siswa, yang sebelumnya diketahui ada 20 orang yang tidak partisipasi,
tidak berminat, tidak perhatian, dan tidak bermotivasi meningkat menjadi kurang
partisipasi, kurang berminat, kurang perhatian, dan kurang bermotivasi.
Sementara itu, 14 orang siswa lainnya yang sebelumnya diketahui kurang
partisipasi, kurang berminat, kurang perhatian, dan kurang bermotivasi menjadi
cukup partisipasi, cukup berminat, cukup perhatian, dan cukup bermotivasi.
Perubahan tersebut didasarkan pada hasil penilaian pengamat, seperti tertuang
pada tabel 4.2.
3.
Dari
34 orang siswa diketahui ada 24 orang (70,58%) yang dinyatakan cukup mampu
memenuhi tuntutan pembelajaran.
Sementara itu, selebihnya dari mereka, yakni 10 orang siswa (29,42%)
dinyatakan kurang mampu memenuhi tuntutan pembelajaran.
4.
Belum
mencapainya target kinerja yang diharapkan, baik oleh guru maupun siswa lebih
disebabkan karena masing-masing belum terbiasa dengan langkah-langkah belajar
berdasarkan metode konstruktivisme. Oleh karena itu, masih banyak siswa yang
dinilai kurang mampu memenuhi tuntutan pembelajaran. Untuk mengatasi masalah
tersebut, maka pada PTK siklus II, akan diupayakan hal-hal berikut.
1)
Persiapan
guru harus ditingkatkan, terutama dalam memahami langkah-langkah pengelolaan
proses pembelajaran berdasarkan tuntutan metode konstruktivisme.
2)
Guru
harus mampu mempertahankan dan meningkatkan hal-hal yang sudah cukup baik dalam
mengelola proses pembelajaran siklus I. Guru harus mampu meningkatkan
partisipasi, minat, perhatian, dan motivasi siswa dalam mengikuti proses
pembelajaran. Hal-hal yang dianjurkan untuk itu, di antaranya mengaktifkan
siswa melalui tanya jawab, pemberian tugas secara kelompok, pemberian
penghargaan dan sanksi kepada siswa yang layak untuk mendapatkannya.
3)
Kinerja
siswa meski meningkat, tetapi belum mencapai harapan, baik dilihat dari
partisipasi, perhatian, minat, dan motivasi. Hal ini lebih disebabkan oleh
karena siswa belum terbiasa dengan langkah-langkah belajar berdasarkan metode belajar
konstruktivisme. Oleh karena itu, kepada siswa disarankan agar siklus II mulai
membiasakan diri dengan langkah-langkah belajar bermakna. Adapun caranya untuk
itu, yakni sebagai berikut.
(1)
Miliki
persiapan fisik dan mental, agar dapat berkonsentrasi pada langkah-langkah
belajar yang akan dijelaskan guru.
(2)
Bertanyalah
kepada guru apabila ada di antara langkah-langkah belajar yang kurang dan atau
belum dipahami dengan baik. Tidak usah ragu apalagi merasa malu untuk itu.
(3)
Belajarlah
secara sungguh-sungguh, yang ditunjukkan dengan cara berpartisipasi secara
aktif, pusatkan perhatian pada apa yang sedang dipelajari, minat dan motivasi
belajar terus tingkatkan dengan cara fokus pada tujuan yang ingin dicapai
setelah mengikuti proses pembelajaran. Selain itu, berusahalah untuk mencapai
penghargaan yang akan diberikan guru, dan takutlah dengan sanksi yang akan
diberikannya apabila kurang baik dalam proses dan hasil belajar.
(4)
Saling
belajarlah dengan baik, karena masing-masing memiliki kelebihan yang sangat
diperlukan oleh yang lain. Berjiwa lapanglah dalam memberi dan menerima masukan
yang ditujukan untuk kebaikan.
b.
Hasil Penelitian
Siklus II
Pelaksanaan
pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang yang disajikan dengan
menggunakan metode belajar konstruktivisme pada siklus II, dapat berlangsung
dengan baik, seperti yang telah direncanakan.Aktivitas belajar siswa tampak
lebih bermakna, baik pada saat mengonstruksi materi yang sedang dibahas oleh
guru maupun pada saat belajar mengonstuksi secara bertahap tuntutan
pembelajaran.Pada siklus II ini tidak lagi terlihat adanya siswa yang tinggal diam
tidak turut ambil bagian dalam pembelajaran.Banyak siswa yang sebelumnya enggan
untuk bertanya sehubungan dengan kekurangan pahamannya terhadap materi yang
dipelajari, mereka mau bertanya.Adanya perubahan aktivitas belajar siswa pada
siklus II ini tidak terlepas dari upaya yang dilakukan guru. Untuk itu, guru
bukan saja memberikan bimbingan dan arahan tetapi selalu memotivasi dan
memfasilitasi apa yang diperlukan oleh siswa sehingga dapat memenuhi tuntutan
pembelajaran. Berdasarkan hasil pengamatan, penilaian, dan catatan dari kedua
orang pengamat, menunjukkan sebagai berikut.
1.
Aktivitas
guru dan siswa pada tahap kegiatan awal, mulai terbiasa dengan langkah-langkah
prapembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang berdasarkan metode
konstruktivisme. Guru dan siswa sudah tidak merasa kaku lagi, sehingga kegiatan
awal dapat berlangsung cukup baik dari sebelumnya (kegiatan awal pada PTK
siklus 1).
2.
Guru
cukup berhasil memotivasi siswa, dengan cara akan memberikan penghargaan (reward) bagi siapa saja di antara
siswanya yang berhasil mencapai hasil belajar lebih baik, dan kepada siswa yang
kurang berhasil akan diberikan sanksi berupa pemberian tugas individu yang akan
ditentukan nanti setelah proses pembelajaran siklus II berlangsung. Melalui
upaya tersebut, ada perubahan pada sikap siswa yang ditunjukkan oleh
partisipasi, perhatian, minat, dan motivasi belajarnya pada tahap pratindakan.
3.
Pada
kegiatan inti siklus II, peran guru dan siswa sudah cukup mengenai sasaran.
Guru tidak lagi menghabiskan waktu untuk menyajikan materi, melainkan lebih
banyak membimbing dan mengarahkan siswa pada proses belajar yang sebenarnya
dalam memenuhi tuntutan pembelajaran. Demikian pun dengan proses belajar siswa,
tampak lebih baik dari sebelumnya, yang ditunjukkan oleh partisipasi
masing-masing, perhatian terhadap penjelasan guru dan tugas, minat dan motivasi
mengikuti proses pembelajaran. Tidak diketahui lagi adanya siswa yang kurang
bersungguh-sungguh dalam mengikuti proses pembelajaran. Dari yang sebelumnya
segan untuk bertanya kepada guru, pada siklus II sudah mulai banyak siswa yang
berani bertanya kepada guru, terutama
tentang cara-cara memenuhi tuntutan pembelajaran.
4.
Terhadap
siswa yang mengalami kesulitan dalam memenuhi setiap tuntutan pembelajaran,
guru memberikan jalan keluar dengan cara memahamkan siswa pada tuntutan
tersebut. Sebelum siswa dapat keluar dari kesulitannya, guru belum beranjak
dari tempat duduk siswa yang bersangkutan. Tindakan ini, disambut dengan baik
oleh siswa, dan karena itu pula yang bersangkutan dapat belajar lebih baik
dalam suasana yang menyenangkan.
5.
Guru
sudah mampu menebar pandangan kepada seluruh siswa, yang ditunjukkan oleh
perhatiannya pada siapa saja yang menghadapi kesulitan dalam memenuhi tuntutan
pembelajaran, maka segeralah ia membantu mencarikan jalan keluarnya hingga
lepas dari kesulitan tersebut.
6.
Saat
siswa sedang memenuhi tuntutan pembelajaran, guru berusaha memfasilitasi apa
yang dibutuhkan siswa. Oleh karena itu, proses belajar siswa tampak lebih
menyenangkan daripada sebelumnya.
Melengkapi catatan hasil pengamatan di
atas, berikut ini disertakan penilaian para pengamat terhadap kemampuan guru
dalam mengelola pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang yang
disajikan dengan menggunakan metode belajar konstruktivisme di siklus II,
seperti tertuang pada tabel berikut.
Tabel
4.4
Penilaian Pengamat
terhadap Kemampuan Guru
dalam Mengelola Proses Pembelajaran Siklus II
No.
|
Indikator
Kemampuan
|
Nilai
Pengamat 1
|
Nilai
Pengamat 2
|
||
Kuantitas
|
Kualitas
|
Kuantitas
|
Kualitas
|
||
1
|
Kemampuan
menguasai kondisi awal pembelajaran
|
75
|
Cukup Mampu
|
74
|
Cukup Mampu
|
2
|
Kemampuan
menjelaskan langkah-langkah pembelajaran
|
75
|
Cukup Mampu
|
75
|
Cukup Mampu
|
3
|
Kemampuan
memotivasi siswa di awal pembelajaran.
|
75
|
Cukup Mampu
|
70
|
Cukup Mampu
|
4
|
Kemampuan
mengondisikan siswa untuk mengikuti kegiatan inti pembelajaran.
|
75
|
Cukup Mampu
|
72
|
Cukup Mampu
|
5
|
Kemampuan
menyajikan materi pembelajaran
|
75
|
Cukup Mampu
|
73
|
Cukup Mampu
|
6
|
Kemampuan
bertanya kepada siswa dan menjawab pertanyaan dari siswa.
|
75
|
Cukup Mampu
|
74
|
Cukup Mampu
|
7
|
Kemampuan
membimbing dan mengarahkan siswa dalam belajar.
|
75
|
Cukup Mampu
|
71
|
Cukup Mampu
|
8
|
Kemampuan
membahas tugas.
|
70
|
Cukup Mampu
|
72
|
Cukup Mampu
|
9
|
Kemampuan
memberikan penghargaan kepada siswa yang unggul dalam kemampuan memenuhi
tuntutan pembelajaran.
|
70
|
Cukup Mampu
|
75
|
Cukup Mampu
|
10
|
Kemampuan
memberi simpulan sehubungan dengan materi pembelajaran yang telah disampaikan
kepada siswa.
|
70
|
Cukup Mampu
|
74
|
Cukup Mampu
|
11
|
Kemampuan
melaksanakan evaluasi dan mengawasi jalannya evaluasi.
|
70
|
Cukup Mampu
|
73
|
Cukup Mampu
|
12
|
Kemampuan
memberikan bahan tindak lanjut.
|
70
|
Cukup Mampu
|
72
|
Cukup Mampu
|
13
|
Kemampuan
menutup kegiatan pembelajaran.
|
72
|
Cukup Mampu
|
75
|
Cukup Mampu
|
Jumlah
|
947
|
|
950
|
|
|
Rata-rata
|
72,9
|
|
73,1
|
|
Keterangan :
Nilai 76, 00 - 100,00,
berarti mampu
Nilai 56,00 - 75,00, berarti cukup mampu
Nilai 26,00 - 55,00, berarti kurang mampu
Nilai 1,00 -
25,00, berarti tidak mampu
Bukan
saja guru yang dinilai kemampuannya, tetapi juga siswa dalam mengikuti jalannya
proses pembelajaran, baik dilihat dari minat, perhatian, partisipasi, maupun
motivasi, seperti tertuang pada lembar observasi PTK siklus 2. Adapun hasil
penilaian tersebut, dituangkan pada tabel berikut.
Tabel 4.5
Penilaian Pengamat terhadap Kemampuan Siswa
dalam Mengikuti Proses Pembelajaran pada Siklus II
No.
|
Nama
|
Minat
|
Perhatian
|
Partisipasi
|
Presentasi
|
||||||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1
|
Subjek 01
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
2
|
Subjek 02
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
3
|
Subjek 03
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
4
|
Subjek 04
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
5
|
Subjek 05
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
6
|
Subjek 06
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
7
|
Subjek 07
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
8
|
Subjek 08
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
9
|
Subjek 09
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
10
|
Subjek 10
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
11
|
Subjek 11
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
12
|
Subjek 12
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
13
|
Subjek 13
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
14
|
Subjek 14
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
15
|
Subjek 15
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
16
|
Subjek 16
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
17
|
Subjek 17
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
18
|
Subjek 18
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
19
|
Subjek 19
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
20
|
Subjek 20
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
21
|
Subjek 21
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
22
|
Subjek 22
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
23
|
Subjek 01
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
24
|
Subjek 02
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
25
|
Subjek 03
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
26
|
Subjek 04
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
27
|
Subjek 05
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
28
|
Subjek 06
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
29
|
Subjek 07
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
30
|
Subjek 08
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
31
|
Subjek 09
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
32
|
Subjek 10
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
33
|
Subjek 11
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
34
|
Subjek 12
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
Keterangan:
Nilai 4 :Baik
Nilai 3 :Cukup Baik
Nilai 2 : Kurang Baik
Nilai 1 : Tidak Baik
Selain itu, melalui evaluasi pembelajaran
siklus II dapat diketahui nilai kemampuan untuk masing-masing siswa.Dari 34 orang
siswa diketahui ada 31 orang (91,17%) yang dinyatakan mampu memenuhi tuntutan
pembelajaran. Sementara itu selebihnya dari mereka, yakni 3
orang siswa (8,03%) dinyatakan masih cukup mampu. Adanya nilai hasil belajar siswa dari siklus
1 ke siklus 2, tampak seperti tertuang pada tabel berikut.
Tabel 4.6
Nilai Hasil Belajar Siswa pada Siklua II
No.
|
Nama Siswa
|
Sesudah
PTK Siklus II
|
||
Kemampuan
1
|
Kemampuan
2
|
NK
|
||
1
|
Subjek 01
|
23
|
52
|
75
|
2
|
Subjek 02
|
21
|
54
|
75
|
3
|
Subjek 03
|
20
|
58
|
78
|
4
|
Subjek 04
|
19
|
56
|
75
|
5
|
Subjek 05
|
20
|
60
|
80
|
6
|
Subjek 06
|
20
|
59
|
79
|
7
|
Subjek 07
|
18
|
60
|
78
|
8
|
Subjek 08
|
19
|
56
|
75
|
9
|
Subjek 09
|
24
|
63
|
87
|
10
|
Subjek 10
|
22
|
41
|
63
|
11
|
Subjek 11
|
18
|
52
|
70
|
12
|
Subjek 12
|
19
|
59
|
78
|
13
|
Subjek 13
|
25
|
69
|
94
|
14
|
Subjek 14
|
25
|
67
|
92
|
15
|
Subjek 15
|
14
|
49
|
63
|
16
|
Subjek 16
|
14
|
56
|
70
|
17
|
Subjek 17
|
14
|
55
|
69
|
18
|
Subjek 18
|
19
|
56
|
75
|
19
|
Subjek 19
|
17
|
62
|
79
|
20
|
Subjek 20
|
20
|
60
|
80
|
21
|
Subjek 21
|
14
|
50
|
64
|
22
|
Subjek 22
|
20
|
60
|
80
|
23
|
Subjek 01
|
23
|
52
|
75
|
24
|
Subjek 02
|
21
|
54
|
75
|
25
|
Subjek 03
|
20
|
58
|
78
|
26
|
Subjek 04
|
19
|
56
|
75
|
27
|
Subjek 05
|
20
|
60
|
80
|
28
|
Subjek 06
|
20
|
59
|
79
|
29
|
Subjek 07
|
18
|
60
|
78
|
30
|
Subjek 08
|
19
|
56
|
75
|
31
|
Subjek 09
|
24
|
63
|
87
|
32
|
Subjek 10
|
22
|
41
|
63
|
33
|
Subjek 11
|
18
|
52
|
70
|
34
|
Subjek 12
|
19
|
59
|
78
|
Berdasarkan hasil refleksi siklus II,
dapat diketahui keberhasilan dan kegagalan pembelajaran menggunakan pengukuran
waktu dan panjang yang disajikan dengan menggunakan metode belajar
konstruktivisme di putaran ini.Adapun hasilnya, sebagai berikut.
1.
Kinerja
guru dalam mengelola proses pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan
panjang pada siklus II, diketahui lebih baik dari siklus sebelumnya.
Peningkatan kinerja guru tersebut ditunjukkan oleh kemampuannya dalam menyusun
rencana pelaksanaan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan mengevaluasi
serta menindaklanjuti hasilnya. Berdasarkan hasil penilaian kedua orang
pengamat, diperoleh rata-rata nilai cukup mampu untuk masing-masing tahap dalam
proses pembelajaran tersebut.
2.
Kinerja
siswa dalam mengikuti proses pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan
panjang pada siklus II, diketahui lebih baik dari siklus sebelumnya. Hal ini
diketahui dari partisipasi, minat, perhatian, dan motivasi masing-masing siswa
yang sebelumnya (pada siklus I) banyak yang kurang partisipasi, kurang berminat,
kurang perhatian, dan kurang bermotivasi setelah melalui penggunaan strategi
menjadi meningkat pada kategori ketiga dan keempat. Dari 34 orang siswa, diketahui
ada 31 orang (91,17%) yang sebelumnya kurang partisipasi, kurang berminat, kurang
perhatian, dan kurang bermotivasi meningkat menjadi cukup partisipasi, cukup berminat,
cukup perhatian, dan cukup bermotivasi. Sementara itu, 3 orang siswa (8,03%) lainnya
yang sebelumnya diketahui cukup partisipasi, cukup berminat, cukup perhatian,
dan cukup bermotivasi menjadi mampu berpartisipasi, minatnya lebih tinggi, mampu
memperhatikan, dan lebih bermotivasi. Perubahan tersebut didasarkan pada hasil
penilaian pengamat, seperti tertuang pada tabel 4.5.
3.
Dari
34 orang siswa diketahui secara keseluruhan dinyatakan tuntas.
4.
Cukup
tercapainya target kinerja yang diharapkan, baik oleh guru maupun siswa lebih
disebabkan karena masing-masing sudah terbiasa dengan langkah-langkah belajar mengajar
berdasarkan metode belajar konstruktivisme.
c.
Pembahasan
Setelah melakukan penelitian dan
menganalisis hasilnya, terbuktilah bahwa penerapan metode belajar
konstruktivisme dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam
pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang. Peningkatan aktivitas
dan hasil belajar siswa tidak saja terjadi pada siklus II tetapi pada siklus I
pun seluruh siswa mengalami peningkatan ke arah yang lebih baik dari sebelum
diterapkan metode ini.
Meningkatnya aktivitas belajar siswa
pada siklus I ditandai oleh partisipasi, perhatian, minat, dan motivasi belajar
yang cukup tinggi.Oleh karena itu, hasil belajar masing-masing siswa pada
siklus I mencapai kriteria ketuntasan minimal.Namun, hasil tersebut masih
dianggap kurang memuaskan bagi guru dan juga siswa.Atas dasar itu, maka dilaksanakan
kembali siklus II.Adanya peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam
pembelajaran siklus I, tidak terlepas dari meningkatnya eksistensi kemampuan
guru dalam mengelola pembelajaran.
Peningkatan aktivitas dan hasil belajar
siswa kembali terjadi pada pembelajar siklus II.Partisipasi, perhatian, minat,
dan motivasi belajar siswa pada siklus II ini, jauh lebih baik daripada siklus
I. Sehingga hasil belajarnya pun turut meningkat lebih baik.Bahkan keseluruhan
siswa perolehan nilainya melebihi nilai kriteria ketuntasan minimal yang telah
ditetapkan.Hal ini pun tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan hasil usaha
guru.
Dengan demikian, penerapan metode belajar konstruktivisme untuk
meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas I SD Negeri 1 Mekarsari,
Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis dalam pembelajaran menggunakan pengukuran
waktu dan panjang, dinyatakan berakhir pada siklus II. Hal ini karena baik guru
maupun siswa sudah merasa puas dengan peningkatan yang terjadi pada siklus akhir
ini.
H.
Simpulan
Setelah melakukan pembahasan terhadap
hasil penelitian, dapat diambil suatu simpulan guna menjawab pokok masalah
penelitian, yakni sebagai berikut.
1.
Penggunaan
metode belajar konstruktivisme dalam pembelajaran matematika tentang menggunakan
pengukuran waktu dan panjang menempuh empat tahapan, yakni: (1) merencanakan
KBM, (2) melaksanakan KBM, (3) mengevaluasi kemampuan siswa, dan (4)
menindaklanjuti hasil evaluasi. Keempat tahapan tersebut dapat dilalui dengan
baik oleh guru dan siswa kelas I SD Negeri 1 Mekarsari, Kecamatan Cimerak,
Kabupaten Ciamis.
2.
Kemampuan
menggunakan pengukuran waktu dan panjang pada siswa kelas I SD Negeri 1
Mekarsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis dapat ditingkatkan melalui
penggunaan metode belajar konstruktivisme.
I.
Daftar Pustaka
Amat, Mukadis. 2006. Pengorganisasian
Isi Pembelajaran Tipe Prosedural. Malang: Universitas Negeri Malang.
Arikunto, Suharsimi. 2005.Penelitian
Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Arief, Aminudin. 1989. Dinamika Kegiatan dalam Strategi
Belajar Mengajar. Malang: LSW.
Dengeng, I Nyoman Sudana. 2000. Peran Teknologi Pembelajaran di
Era Kesemrawutan Global, Makalah Seminar Nasional Teknologi Pendidikan.
Jakarta: Forum Komunikasi Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Pendidikan UNJ.
……………………………….,1989. Ilmu Pembelajaran Taksonomi
Variabel. Jakarta:Depdikbud, Dirjen Dikti: Proyek Pengembangan Lembaga
Pendidikan Tinggi.
……………………………….,1988. Pengorganisasian Pengajaran
Berdasarkan Teori Elaborasi dan Pengaruhnya terhadap Perolehan Belajar Informasi
Verbal dan Konsep. Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor di Bidang
Teknologi Pengajaran. Malang:FPS IKIP Malang.
Dimyati, M. 1989. Landasan Kependidikan.
Jakarta:Dirjen Dikti Depdikbud RI.
Dimyati, M. dan Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta:Rineka Cipta.
Gagne, R. M. 1986. The
Condition of Learning. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Gagne, R.M & Briggs, J.L. 1988. Principles of Instuctional Technology Second Edition. New York: Holt, Rinehart
and Winston.
Herawati, Susilo. 2006. Pelaporan
Penelitian Tindakan Kelas. Malang: LSW.
Hermawan, Asep. 2007. Strategi
Belajar Mengajar Berorientasi Contextual Teaching and Learning. Ciamis:
Universitas Galuh Press.
Lemlit, U.M. 2006.Pedoman
Penyusunan Proposal dan Laporan Penelitian Tindakan Kelas. Malang:
LPUNM.
|
Saifudin, Anwar. 1998. Sikap Manusia Teori dan
Pengukurannya. Yagyakarta: Liberty.
Sa’dun, Akbar. 2006. Penyusunan Proposal Penelitian Tindakan
Kelas. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Suhadi, Ibnu. 2006. Dinamika
Pembelajaran Berorientasi Konstruktivisme. Jakarta: Rineka Cipta.
Uno, B. Hamzah. 2007. Model
Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif.
Jakarta:Bumi Aksara.
Winkel, WS. 1983. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar.
Jakarta: Gramedia.