Rabu, 16 Oktober 2013

Peningkatan Kemampuan Menggunakan Pengukuran dan Panjang Melalui Penggunaan Metode Belajar Konstruktivisme (Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa Kelas I SD Negeri 1 Mekarsari, Kecamatan Cimerak, Kabuaten Ciamis Tahun Pelajaran 2011/2012)


A.    Judul
Peningkatan Kemampuan Menggunakan Pengukuran dan Panjang Melalui Penggunaan Metode Belajar Konstruktivisme (Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa Kelas I SD Negeri 1 Mekarsari, Kecamatan Cimerak, Kabuaten Ciamis Tahun Pelajaran 2011/2012)
B.     Nama Penulis
TUTI ROHANIATI, S.Pd. SD                                                                                                
C.    Abstrak dan Kata Kunci

ABSTRAK

Kata Kunci: Pembelajaran Menggunakan Pengukuran dan Panjang, Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa, dan Metode Belajar Konstruktivisme
         Pembelajaran matematika, khususnya dalam menggunakan pengukuran waktu dan panjang yang telah dilaksanakan oleh guru dan siswa kelas I SD Negeri 1 Mekarsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis, Tahun Pelajaran 2011/2012 pada semester 1 menunjukkan kurang berhasil, baik dilihat dari aktivitas belajar siswa maupun hasil belajarnya. Siswa yang mengalami kesulitan dalam memenuhi setiap tuntutan pembelajaran, tidak sedikit. Hal ini disebabkan oleh pendekatan yang digunakan guru dalam pengelolaan proses pembelajaran, kurang tepat. Hal ini dirasakan sekali oleh guru.Untuk mengatasi masalah tersebut, digunakan metode belajar konstruktivisme. Metode belajar konstruktivisme merupakan salah satu metode yang menitikberatkan pada upaya proses belajar siswa untuk membangun pemahaman secara bertahap. Tugas guru dalam rangka itu bukan saja memfasilitasi tetapi juga inovator, motivator, dan mediator bagi siswa saat sedang menempuh tahapan-tahapan pembelajaran berdasarkan langkah-langkah metode belajar konstruktivisme.Penggunaan metode tersebut menempuh dua siklus PTK.Setiap siklus terdiri atas empat tahapan, yang ditempuh secara kolaborasi dengan teman sejawat.Keempat tahapan dimaksud, yakni perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Setelah melakukan serangkaian kegiatan tersebut, terbuktilah bahwa penggunaan metode belajar konstruktivisme dalam pembelajaran matematika tentang menggunakan pengukuran waktu dan panjang pada siswa kelas I SD Negeri 1 Mekarsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis, Tahun Pelajaran 2011/2012 dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajarnya. Adanya peningkatan tersebut, tidak lepas dari upaya sekemampuan guru, baik dalam merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, mengevaluasi kemampuan siswa dalam pembelajaran, dan menindaklanjuti hasilnya agar diperoleh peningkatan yang lebih baik.
D.    Pendahuluan
a.      Latar Belakang Masalah
        Salah satu dari mata pelajaran eksak yang banyak diminati oleh para siswa, namun dirasakan sulit selama proses mempelajarinya, adalah Matematika. Persoalan ini patut diperhitungkan dan dicarikan alternatif pemecahannya yang efektif, mengingat urgensi setiap materi ajar Matematika sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari siswa.  Salah satu upaya yang memiliki nilai strategis bagi proses belajar siswa dalam mempelajari setiap materi ajar Matematika, adalah guru melakukan inovasi pembelajaran. Sebenarnya, letak persoalan mereka bukan karena sulit dalam proses mempelajarinya, melainkan karena proses pembelajaran yang dikelola guru kurang bermakna bagi siswa. Oleh karena itu proses belajar siswa kurang terarah, dan ini bukan saja akan berakibat pada meningkatnya tingkat kejenuhan siswa dalam dan selama mempelajari materi ajar yang disajikan, tetapi juga akan melahirkan budaya malas belajar, menjadi benci pada mata pelajaran ini, yang akhirnya hasil belajar siswa terus menurun.
        Benang merahnya uraian di atas, adalah perlu adanya upaya strategis yang dilakukan guru untuk mengatasi kesulitan siswa setiap kali mempelajari materi ajar Matematika. Imbauan ini ditujukan kepada siapa pun gurunya yang mengampu tugas membelajarkan siswa dalam setiap pembelajaran Matematika. Oleh karena itu, penulis merasa terketuk hati untuk ambil tindakan proaktif, tentunya melalui upaya inovatif guna mengatasi persoalan yang sering dihadapi siswa dalam setiap kali mempelajari materi ajar Matematika. Kesulitan yang selalu dirasakan siswa binaan, tidak sedikit, salah satu di antaranya  dan ini kerap terjadi, yaitu ketika mempelajari materi ajar melakukan operasi hitung bilangan bulat. Kesulitan mempelajari materi ajar ini bukan saja dialami oleh siswa sebelumnya, tetapi  dialami pula oleh siswa kelas I SD Negeri 1 Mekarsari pada tahun pelajaran 2011/2012. Berdasarkan hasil refleksi pratindakan, dapat diketahui sebagian besar siswa (23 orang siswa) berkemampuan kurang dalam memenuhi setiap tuntutan (tujuan) pembelajaran. Mereka tergolong pada kelompok kurang mampu dengan perolehan nilai terendah 23. Nilai terendah berada jauh dari kriteria ketuntasan minimal (KKM) atau batas minimal tuntas belajar untuk mata pelajaran Matematika  di SD Negeri Madura 07, yaitu 55.  Sementara selebihnya dari mereka (11 orang siswa) berkemampuan cukup dalam memenuhi setiap tuntutan pembelajaran. Mereka tergolong pada kelompok cukup mampu dengan perolehan nilai terendah 73 dan tertinggi 83.            
         Refleksi yang dilakukan tidak sampai di situ, dan ini yang lebih utama karena memiliki nilai strategis, yakni proses belajar siswa. Saat sedang berlangsung proses kegiatan belajar mengajar, aktivitas siswa dan guru tampak tidak sinergis. Siswa belajar sesuai dengan kemauannya, sedangkan guru mengajar sekemampuannya. Dalam pada itu, masing-masing bukan tidak berusaha. Antarsiswa tidak terjadi saling belajar, dan apalagi mereka aktif bertanya jawab dengan guru sehubungan dengan banyak hal yang tidak dan atau kurang dipahaminya. Meski guru sering menganjurkan, namun tetap saja tidak dimanfaatkan siswa. Hingga proses kegiatan belajar mengajar materi ajar ini berakhir, suasana tetap tidak berubah.
Selagi proses belajar siswa tidak bermakna, apa pun materi ajar yang dipelajarinya, tetap tidak akan berhasil dikuasai. Sejalan dengan pandangan ini, seorang ahli Matematika mengemukakan sebagai berikut “Siswa yang belajar harus berperan secara aktif membentuk pengetahuan dan pengertian matematika, bukan hanya menerima secara pasif dari guru” (Uno, 2007:128). Dalam kaitan ini, menurut pandangan konstruktivisme, “Anak yang belajar matematika dianggap sebagai subjek yang memiliki potensi untuk dikembangkan sesuai dengan penalaran. Sebab anak sejak lahir menggunakan penalaran yang berkembang seiring dengan pertumbuhan dirinya” (Carpenter dalam Uno, 2007:129).  Bisa jadi karena sebab tidak dibelajarkan seperti itulah, siswa binaan kurang berhasil menguasai materi ajaran ini. Sadar akan hal itu, dan agar siswa tidak gagal untuk yang kedua kalinya dalam mempelajari materi ajar ini, guru dan siswa harus mencoba merespon pandangan konstruksivisme. Benar atau tidaknya metode  tersebut  of to date apabila digunakan untuk mengatasi masalah ini, maka dilakukan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran menggunakan sifat-sifat operasi hitung.
b.      Identifikasi Masalah
Bertolak dari uraian di atas, apa yang menjadi masalahnya dapat diidentifikasi, yakni sebagai berikut.
1.      Pada dasarnya setiap siswa berkeinginan menguasai materi ajar Matematika dengan mudah, akan tetapi kenyataannya dalam setiap kali mempelajarinya selalu dihadapkan dengan kesulitan.
2.      Dampak dari kesulitan mempelajari setiap materi ajar Matematika, timbul kebencian pada mata pelajaran ini. Akibatnya, lahirlah budaya malas belajar mempelajari materi ajar apa pun dalam mata pelajaran Matematika.
3.      Sebab timbulnya budaya malas belajar siswa dalam setiap mempelajari materi ajar Matematika, adalah proses pembelajaran yang dikelola guru, kurang bermakna.
4.      Antarsiswa tidak terjadi saling belajar, enggan untuk bertanya jawab dengan guru, siswa belajar sesuai dengan kemauannya, dan guru mengajar sekemampuan, ini menunjukkan proses kegiatan belajar mengajar yang tidak interaktif. Oleh karena itu, hasil belajar siswa jauh dari yang diharapkan.
5.      Setiap masalah di atas, akhirnya bermuara pada proses pembelajaran dinilai tidak konstruktif, melainkan instruktif, yang ditandai oleh pemindahan pesan dari guru ke siswa, bukan siswa mengonstuksi sendiri berdasarkan rekayasa belajar konstruktivisme, termasuk dalam pembelajaran melakukan operasi hitung bilangan bulat.
c.       Rumusan Masalah          
        Berdasarkan identifikasi dan latar belakang masalah di atas, pokok masalah penelitian ini dapat dirumuskan, sebagai berikut.
1.      Bagaimana langkah-langkah strategis meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang berdasarkan metode belajar konstruktivisme?
2.      Bagaimana peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang setelah menempuh langkah-langkah metode belajar konstuktivisme?     
d.      Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah dalam penelitian tindakan kelas ini menempuh cara belajar matematika berdasarkan langkah-langkah strategis dari metode konstruktivisme. Termotivasi untuk menggunakan cara ini, diilhami oleh pandangan konstukrivisme, bahwaSiswa yang belajar harus berperan secara aktif membentuk pengetahuan dan pengertian matematika, bukan hanya menerima secara pasif dari guru” (Uno, 2007:128). Dalam kaitan ini, menurut pandangan konstruktivisme, “Anak yang belajar matematika dianggap sebagai subjek yang memiliki potensi untuk dikembangkan sesuai dengan penalaran. Sebab anak sejak lahir menggunakan penalaran yang berkembang seiring dengan pertumbuhan dirinya” (Carpenter dalam Uno, 2007:129). Besar harapan melalui upaya ini berhasil meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang.
e.       Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara lebih khusus dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi masalah yang dihadapi guru dan siswa dalam pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang, dan juga untuk membuktikan keefektifan cara belajar siswa berdasarkan langkah-langkah strategis metode belajar konstuktivisme. Lebih rincinya, tujuan tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Memperbaiki kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang berdasarkan langkah-langkah strategis cara membelajarkan siswa melalui motede belajar konstruktivisme.
2.      Memperbaiki akitivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang berdasarkan langkah-langkah strategis motede belajar konstruktivisme.
3.      Menguji efektivitas metode belajar konstruktivisme sebagai upaya meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa  dalam pembelajaran operasi hitung bilangan bulat.
4.      Dalam rangka inovasi pembelajaran bermutu oleh guru untuk siswa.

E.     Kajian Pustaka
8
          Model pembelajaran berdasar metode belajar konstruktivisme merupakan pengembangan dari proses belajar kogninif.  Menurut Saud (2008:168) konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun penegtahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Piaget (dalam Sanjaya, 2005:78) menganggap bahwa pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari objek semata, akan tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya. Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan itu berasal dari luar akan tetapi dikonstruksi dari dalam diri sesorang. Karena itu pengetahuan terbentuk oleh objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk menginterpretasi objek tersebut. Lebih jauh Piaget (dalam Saud, 2008:169) mengatakan hakikat pengetahuan adalah: (1) pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia nyata, akan tetapi merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek; (2) subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan; dan (3) pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang, struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang. Pendekatan konstruktivisme merupakan salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses memperoleh pengetahuan diawali dengan terjadinya konflik kognitif, yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri. Pada akhir proses belajar, pengetahuan akan dibangun sendiri oleh anak didik melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya (Bell dalam Saud, 2008:169). Menurut Saud, konflik kognitif tersebut terjadi saat interaksi antara konsepsi awal yang telah dimiliki siswa dengan fenomena baru yang dapat diintegrasikan begitu saja, sehingga diperlukan perubahan/modifikasi struktur kognitif untuk mencapai keseimbangan. Peristiwa ini akan terjadi secara berkelanjutan selama siswa menerima pengetahuan baru.
         Sehubungan dengan pendapat di atas, Mulyasa (2003:237) mengemukakan bahwa fokus pendekatan konstruktivisme bukan pada rasionalitas, tapi pada pemahaman. Inilah alasan utama mengapa konstruktivisme dengan cepat dapat menggantikan teori perkembangan kognitif sebagai dasar dalam praktek pendidikan. Daya tarik dari model ini adalah pada kesederhanaannya.
        Diperoleh penjelasan sebagai berikut, bahwa metode  dari dari konstruktivisme adalah meaningfullearning. Hanya meaningfullearning -lah yang sesungguhnya pembelajaran (Ausubel dalam Mulyasa, 2003:237). Lebih lanjut dikemukakan, bahwa pembentukan pengetahuan melibatkan interpretasi kita atas peristiwa tersebut. Sebelum peristiwa tersebut menjadi pengetahuan kita, dia harus melewati lapisan yang disebut “interpretasi”. Inilah yang disebut meaningfullearning. Interpretasi ini adalah suatu proses berpikir yang singkat dan cepat yang terjadi dalam otak kita (Mulyasa, 2003:238).
        Interpretasi berada di antara peristiwa yang dilihat dan pemahaman kita tentang peristiwa itu. Interpretasi ini dipengaruhi oleh pengalaman pada masa lampau, oleh teori, nilai, dan kepercayaan yang yang dimiliki sebelumnya. Karena itu, seorang ahli ilmu sosial tidak pernah bisa mengatakan bahwa seseorang punya pengetahuan yang exact tentang sesuatu realitas. Pengetahuan merupakan bukan satu foto dari suatu peristiwa sosial, tapi seperti sebuah lukisan impresisionistik dari seorang seniman tentang peristiwa tersebut. Pengetahuan bukan merupakan suatu duplikat yang persis sebagaimana bentuk peristiwa itu sebenarnya, tapi hasil satu interpretasi terhadap peristiwa itu.
        Pernyataan, bahwa pengetahuan dikonstruksi (dibangun dalam pikiran) dari hasil interpretasi atas suatu peristiwa, membawa sebagian orang pada kesimpulan bahwa semua pengetahuan adalah bersifat subjektif. Pengetahuan sangat dipengaruhi oleh pola pikir orang tersebut. Sementara itu, sebagian orang lain namun, yang pasti semua pengetahuan dapat bersifat salah, yaitu kesalahan yang terjadi karena salah persepsi dan salah interpretasi atas suatu peristiwa.
        Menurut Mulyasa (2003:238) semua pengetahuan dapat salah (tidak selalu benar), karena hakekat pengetahuan adalah kurang exactitude dan kurang comprehensiveness. Prinsip ini disebut epistemologicalfallibism. Inilah dasar filsafat dari model konstruktivisme. Pada puncaknya, kita tidak pernah yakin berapa diikat jarak antara pengetahuan yang dibangun tentang suatu peristiwa sosial dengan realitas yang sesungguhnya dari peristiwa sosial tersebut. Pengetahuan adalah hasil dari meaningfulinterpretation (interpretasi penuh makna) terhadap pengalaman kita dengan suatu peristiwa sosial.
         Jika penemuan awal dari suatu pengetahuan adalah melalui meaningfulinterpretation, maka pembelajaran terhadap pengetahuan tersebut pada tingkat selanjutnya seharusnya melibatkan meaningfulinterpretation. Jadi, tidak ada yang belajar melalui transmisi. Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara penemuan awal sebuah pengetahuan ilmiah  tersebut oleh seorang murid dalam kelas. Keduanya memerlukan tindakan interpretasi.
         Perlu ditegaskan bahwa tidak ada orang yang belajar seperti mengopi satu file komputer dari floppydisk ke harddisk. Orang selalu belajar dengan cara membuat apa yang dialaminya masuk akal (makesenses). Kita baru dikatakan telah belajar tentang sesuatu ketika sesuatu itu adalah masuk akal bagi kita. Pembelajaran adalah proses aktif mengonstruksi (membangun sesuatu dalam pikiran), atau merangkum saru kerangka konsep. Dengan model konstruksi dan pembelajaran meaningful maka peristiwa-peristiwa yang dialami manusia menjadi masuk akal (makesenses) bagi diri mereka.
        Model pembelajaran konstruktivisme memperlihatkan bahwa pembelajaran merupakan proses aktif dalam membuat sebuah pengalaman menjadi masuk akal, dan proses ini sangat dipengaruhi oleh apa yang sudah diketahui orang sebelumnya. Karena itu, dalam setiap kegiatan pembelajaran guru harus memperoleh, atau sampai pada, persamaan pemahaman dengan peserta didik. Dalam model konstruktivisme, pembelajaran melibatkan negosiasi (pertukaran pikiran) dan interpretasi. Wacana penyesuaian pikiran ini dapat dilakukan antara murid dengan guru, antara sesama murid. Karena itu metode  pembelajaran kooperatif (kerjasama) adalah sangat ideal. Dalam model konstruktivisme harus tercipta hubungan kerjasama antara guru dengan murid, dan antara sesama murid.
Metode  pokok dari model pembelajaran konstruktivisme adalah activelearning yang mengajak peserta didik berpikir dan memahami materi pelajaran, bukan sekadar mendengar, menerima, dan mengingat-ingat. Setiap unsur materi pelajaran  darus diiolah dan diinterpretasikan sedmikan rupa sehingga masuk akal. Pengetahuan baru terbentuk dari sesuatu yang masuk akal. Sesuatu yang tidak masuk akal tidak akan menempel lama dalam pikiran. Metode  ini berbeda dari metode menghafal. Dalam metode menghafal, pserta didiknya mendengar dan menerima, kemudian menginat-ingat materi pelajaran yang diterima tersebut. Kadang-kadang terdapat materi yang kurang dipahami peserta didik, bukan tidak masuk akal peserta didik. Namun, karena materi tersebut sudah ada dalam paket pelajaran, dan ada keharusan bagi peserta didik untuk menghafalnya, maka peserta didik diam saja menerima. Motode ini disebut “chalkandtalk”. Dalam metode ini, pihak yang lebih aktif adalah guru. Sementara itu peserta didik lebih bersifat pasif. Metode ini juga dikenal dengan istilah receptivelearning. Dalam metode ini, pembelajaran terjadi dalam situasi rutin dan membosankan. Materi pelajaran, meskipun diterima dan dihafal, namun mudah terlupakan, karena materi tersebut tidak diterima melalui pemahaman yang masuk akal, tetapi melalui instruksi transmisi.
         Dalam metode  meaningfullearning, peserta didik digalakan untuk aktif. Peserta didik adalah pusat dari kegiatan belajar mengajar. Peserta didik harus dilibatkan dalam tanya jawab yang terarah. Peserta didik digalakan untuk bertanya dan mencari problemsolving. Peserta didik harus didorong untuk menaksirkan informasi yang  diberikan oleh guru, hingga informasi tersebut dapat diterima oleh akal sehat mereka. Metode  seperti ini memerlukan pertukaran pikiran, diskusi, dan perdebatan, dalam rangka mencapai pengertian yang sama atas setiap materi pelajaran. Kadang-kadang dalam mencapai pemahaman tersebut, mungkin diperlukan roleplaying, activeplaying (belajar aktif), interpretation (penafsiran), makesense (masuk akal), negotiation (pertukaran pikiran), cooperative (kerjasama), dan inquiry (menyelidiki) adalah beberapa kata kunci dalam model pembelajaran konstruktivisme (Mulyasa, 2003:241).
        Dengan pendekatan pembelajaran seperti ini, pengetahuan dapat diterima dan tersimpan lebih baik, karena pengetahuan tersebut masuk otak setelah melalui proses masuk akal. Yang tidak masuk akal dikesampingkan. Karena tersimpan secara mendalam, meski pernah lupa, pengetahuan tersebut mudah untuk dipelajari kembali. Lagi pula, karena materi tersebut dipahami dengan baik, maka materi tersebut sewaktu-waktu dapat digunakan dalam situasi baru yang berlainan dari situasi waktu belajar mengajar.
        Dalam metode activelearning, setiap materi pelajaran yang baru harus dikaitkan dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman yang ada sebelumnya. Materi pelajaran yang baru disesuaikan secara aktif dengan pengetahuan yang sudah ada. Karena itulah, dalam model konstruktivisme, kegiatan belajar mengajar harus dimulai dengan hal yang sudah dikenal dan dipahami peserta didik. Barulah setelah itu guru menambahkan unsur-unsur pelajaran yang baru yang disesuaikan dengan pengetahuan yang ada tersebut secara aktif.
         Agar peserta didik belajar secara aktif, guru perlu menciptakan metode  yang tepat, sedemikian rupa, sehingga peserta didik mempunyai motivasi yang tinggi untuk belajar. Motivasi yang seperti ini akan dapat tercipta kalau guru dapat meyakinkan peserta didik akan kegunaan materi pelajaran bagi kehidupan nyata mereka. Demikian juga, guru harus dapat menciptakan situasi sehingga materi pelajaran selalu tampak menarik, tidak membosankan. Guru harus punya sensitifitas yang tinggi untuk segera mengetahui apakah kegiatan pembelajaran sudah membosankan siswa. Jika hal ini terjadi, guru harus segera mencari  metodologi pembelajaran baru yang lebih tepat guna dan tepat sasaran.
        Dari uraian di atas, diperoleh beberapa butir yang perlu selalu diingat guru dalam mengimplementasikan model pembelajaran konstruktivisme, yakni sebagai berikut.
1.      Pusat kegiatan belajar mengajar adalah peserta didik yang aktif.
2.      Pembelajaran dimulai dari yang sudah diketahui dan dipahami peserta didik.
3.      Bangkitkan motivasi belajar peserta didik dengan membuat materi pelajaran sebagai hal yang menarik dan berguna bagi kehidupannya.
4.      Guru harus segera mengenali materi pelajaran dan metode pembelajaran yang membuat peserta didik bosan. Ini harus segera ditanggulangi.
       Dari beberapa pendapat di atas diperoleh butir-butir khusus tentang hakekat pembelajaran konstruktivisme, sebagaimana dikemukakan Mulyasa (2003:239), yang berikut ini.
1.      Siswa harus selalu aktif selama pembelajaran.      
2.      Proses aktif ini tidak terjadi melalui transmisi, tapi melalui interpretasi.
3.      Interpretasi selalu dipengaruhi oleh pengetahuan sebelumnya.
4.      Interpretasi dibangun oleh metode instruksi yang memungkinkan negosiasi pemikiran (bertukar pikiran), melalui diskusi, tanya jawab, dan sebagainya.
5.      Tanya jawab didorong oleh kegiatan inkuiri (ingin tahu) para siswa. Jadi kalau  siswa tidak bertanya/tidak bicara berarti dia tidak belajar secara optimal.
6.      Kegiatan belajar mengajar tidak hanya merupakan suatu proses pengalihan pengetahuan, tapi juga pengalihan keterampilan dan kemampuan.
          Ada beberapa langkah konkret yang harus diupayakan guru dalam mengelola proses belajar siswa bila menggunakan model pembelajaran konstruktivisme. Beberapa langkah dimaksud dijelaskan Mulyasa (2003:243) dalam rangkaian tahapan berikut. Pertama, tahap pemanasan-apersepsi selama lebih kurang 5 s.d. 10 menit, dengan langkah-langkah berikut: (1) pelajaran dimulai dengan hal-hal yang diketahui dan dipahami peserta didik; (2) motivasi peserta didik dengan bahan ajar yang menarik dan berguna baginya; (3) peserta didik didorong agar tertraik untuk mengetahui hal-hal yang baru. Kedua, tahapan eksplorasi selama lebih kurang 25 s.d. 30 menit, dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) materi/keterampilan baru diperkenalkan; (2) libatkan siswa secara aktif dalam problemsolving; (3) letakkan penekanan pada kaitan struktural, yaitu kaitan antara materi ajar yang baru dengan berbagai aspek kehidupan di dalam lingkungan; dan (4) cari metodologi yang paling tepat sehingga materi ajar dapat terproses menjadi bagian dari pengetahuan peserta didik. Ketiga, tahapan konsolidasi pembelajaran, dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) melibatkan peserta didik secara aktif dalam menafsirkan dan memahami materi ajaran baru; (2) libatkan siswa secara aktif dalam problem solving; (3) letakkan penekanan pada kaitan structural, yaitu kaitan antara materi ajar yang baru dengan berbagai aspek kegiatan/kehidupan di dalam lingkungan; dan (4) cari metodologi yang paling tepat sehingga materi ajar dapat terproses menjadi bagian dari pengetahuan peserta didik.  Keempat, tahapan pembentukan sikap dan perilaku selama lebih kurang 10 menit, dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) peserta didik didorong untuk menerapkan konsep/pengertian yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari; (2) peserta didik membangun sikap dan perilaku baru dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan pengertian yang dipelajari; dan (3) cari metodologi yang paling tepat agar terjadi perubahan pada sikap dan perilaku peserta didik. Kelima, tahap penilaian formatif selama lebih kurang 10 menit, dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) kembangkan cara-cara untuk menilai hasil pembelajaran peserta didik; (2) gunakan hasil penilaian tersebut untuk melihat kelemahan atau kekurangan peserta didik dan masalah-masalah yang dihadapi guru; dan  (3) cari metodologi yang paling tepat yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

F.     Metodologi Penelitian
a.      Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini, yaitu siswa kelas I SD Negeri 1 Mekarsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis Tahun Pelajaran 2011/2012, yang terdiri atas 16 orang siswa berjenis kelamin perempuan dan 18 orang siswa berjenis kelamin laki-laki, yang sedang menempuh semester 2 dalam mata pelajaran matematika.
b.      Setting Penelitian
Setting dalam penelitian ini meliputi: tempat dan waktu penelitian, serta siklus PTK.Lebih jelasnya mengenai hal itu, sebagai berikut.
c.       Tempat Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SD Negeri 1 Mekarsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis. Pemilihan sekolah ini bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan pengelolaan proses pembelajaran mata pelajaran matematika.
d.      Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada awal tahun ajaran baru 2011/2012, yaitu bulan Januari sampai dengan Maret 2011. Penentuan waktu penelitian mengacu pada kalender akademik sekolah, karena PTK memerlukan beberapa siklus yang membutuhkan proses belajar mengajar efektif di kelas.
e.       Siklus PTK
PTK ini dilaksanakan melalui dua siklus untuk melihat peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang berdasarkan langkah-langkah metode belajar konstruktivisme.
f.       Prosedur Penelitian
Alur penelitian ini menempuh prosedur penelitian tindakan kelas, yang berupa siklus perbaikan pembelajaran yang dilakukan secara kolaborasi antara guru pelaksana tindakan, teman sejawat dan kolabolator, serta siswa. Dalam setiap siklusnya, terdapat empat tahapan, antara lain: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. Penelitian ini akan menempuh tiga siklus, seperti tampak pada gambar berikut. 

Gambar 1Alur Penelitian Tindakan Kelas Secara Umum




G.    Hasil Penelitian dan Pembahasan
a.      Hasil Penelitian Siklus I
       Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar menggunakan pengukuran waktu dan panjang berdasarkan langkah-langkah metode belajar konstruktivisme pada siklus I, cukup memberi dampak yang baik terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa. Hal ini merupakan hasil usaha guru dalam membimbing dan mengarahkan seluruh siswa pada tahapan belajar mengonstruksi materi pembelajaran yang harus dikuasainya setelah KBM siklus I berlangsung.Berdasarkan hasil pengematan, penilaian, dan catatan pengamat terhadap aktivitas belajar siswa menunjukkan sebagai berikut.
1.      Aktivitas guru dan siswa pada tahap kegiatan awal, tampak ada kesan kaku, yang disebabkan oleh belum terbiasa memulai kegiatan pembelajaran seperti itu.
2.      Motivasi yang dilakukan guru, cukup menyentuh perasaan siswa, yang tampak dari semangat siswa untuk mengikuti proses pembelajaran.
3.      Sebagian besar waktu pada kegiatan inti, lebih banyak digunakan guru untuk menyajikan materi, dan sisanya digunakan untuk mengerjakan tugas, membahas hasil penugasan, dan uji kompetensi.
4.      Sebagian besar siswa kurang aktif dalam bertanya jawab, baik dengan guru maupun siswa.
5.      Tugas guru, baik sebagai mediator maupun fasilitator bagi siswa, dinilai masih kurang. Hal ini karena pembelajaran lebih mengutamakan tersampaikannya materi ajar kepada siswa. Hal ini telah berdampak kurang baik terhadap aktivitas belajar siswa, baik pada saat mendata pokok-pokok berita maupun ketika mengembangkannya menjadi sebuah teks berita yang diinginkan.
6.      Dalam menghadapi situasi tersebut, tidak ada upaya yang dilakukan guru, sehingga sampai pada akhir kegiatan inti siswa tampak masih menghadapi masalah dalam menulis teks berita yang diinginkan.
Guna melengkapi catatan hasil pengamatan di atas, berikut ini disertakan penilaian para pengamat terhadap kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran siklus I. Hasil penilain tersebut, dapat dituangkan kembali pada tabel berikut.
Tabel 4.1
Penilaian Pengamat terhadap Kemampuan Guru                                                dalam Mengelola Proses Pembelajaran pada Siklus 1
No.
Indikator Kemampuan
Nilai Pengamat 1
Nilai Pengamat 2
Kuantitas
Kualitas
Kuantitas
Kualitas
1
Kemampuan menguasai kondisi awal pembelajaran
56
Cukup Mampu
58
Cukup Mampu
2
Kemampuan menjelaskan langkah-langkah pembelajaran
57
Cukup Mampu
58
Cukup Mampu
3
Kemampuan memotivasi siswa di awal pembelajaran.
57
Cukup Mampu
58
Cukup Mampu
4
Kemampuan mengondisikan siswa untuk mengikuti kegiatan inti pembelajaran.
57
Cukup Mampu
59
Cukup Mampu
5
Kemampuan menyajikan materi pembelajaran
57
Cukup Mampu
57
Cukup Mampu
6
Kemampuan bertanya kepada siswa dan menjawab pertanyaan dari siswa.
60
Cukup Mampu
65
Cukup Mampu
7
Kemampuan membimbing dan mengarahkan siswa dalam belajar.
56
Cukup Mampu
62
Cukup Mampu
8
Kemampuan membahas tugas.
60

63

9
Kemampuan memberikan penghargaan kepada siswa yang unggul dalam kemampuan memenuhi tuntutan pembelajaran.
60
Cukup Mampu
65
Cukup Mampu
10
Kemampuan memberi simpulan sehubungan dengan materi pembelajaran yang telah disampaikan kepada siswa.
60
Cukup Mampu
60
Cukup Mampu
11
Kemampuan melaksanakan evaluasi dan mengawasi jalannya evaluasi.
65
Cukup Mampu
67
Cukup Mampu
12
Kemampuan memberikan bahan tindak lanjut.
57
Cukup Mampu
59
Cukup Mampu
13
Kemampuan menutup kegiatan pembelajaran.
60
Cukup Mampu
63
Cukup Mampu
Jumlah
762

794

Rata-rata
58,61

61,1

Keterangan :
Nilai 76, 00 - 100,00, berarti mampu
Nilai 56,00 -  75,00, berarti cukup mampu
Nilai 26,00 -  55,00, berarti kurang mampu
Nilai 1,00   -  25,00, berarti tidak mampu
Selain memberikan penilaian terhadap kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran siklus 1, para pengamat pun menilai kemampuan siswa dalam mengikuti jalannya proses pembelajaran, baik dilihat dari minat, perhatian, partisipasi, maupun motivasi, seperti tertuang pada lembar observasi PTK siklus 1. Adapun hasil penilaian tersebut, dituangkan pada tabel berikut.
Tabel 4.2                                                                                                       Penilaian Pengamat terhadap Kemampuan Siswa                                                dalam Mengikuti Proses Pembelajaran Siklus 1
No.
Nama
Minat
Perhatian
Partisipasi
Presentasi
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
Subjek 01












2
Subjek 02












3
Subjek 03












4
Subjek 04












5
Subjek 05












6
Subjek 06












7
Subjek 07












8
Subjek 08












9
Subjek 09












10
Subjek 10












11
Subjek 11












12
Subjek 12












13
Subjek 13












14
Subjek 14












15
Subjek 15












16
Subjek 16












17
Subjek 17












18
Subjek 18












19
Subjek 19












20
Subjek 20












21
Subjek 21












22
Subjek 22












23
Subjek 01












24
Subjek 02












25
Subjek 03












26
Subjek 04












27
Subjek 05












28
Subjek 06












29
Subjek 07












30
Subjek 08












31
Subjek 09












32
Subjek 10












33
Subjek 11












34
Subjek 12












Keterangan:
Nilai 4 :Baik
Nilai 3 :Cukup Baik
Nilai 2 : Kurang Baik
Nilai 1 : Tidak Baik

       Selain itu, hasil belajar siswa pada siklus I pun mengalami peningkatan. Hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan pada aktivitas belajar siswa.Berdasarkan evaluasi siklus I, diperoleh nilai hasil belajar siswa seperti tertuang pada tabel berikut.
Tabel 4.3
Nilai Hasil Belajar Siswa pada Siklus 1

No.
Nama                            Siswa
Sesudah PTK Siklus 1
Tuntutan 1
Tuntutan 2
NK
1
Subjek 01
20
49
69
2
Subjek 02
18
42
70
3
Subjek 03
17
43
70
4
Subjek 04
16
52
68
5
Subjek 05
20
50
70
6
Subjek 06
20
55
75
7
Subjek 07
18
50
68
8
Subjek 08
15
46
61
9
Subjek 09
20
65
85
10
Subjek 10
20
40
60
11
Subjek 11
19
51
70
12
Subjek 12
15
43
58
13
Subjek 13
20
56
76
14
Subjek 14
23
66
89
15
Subjek 15
13
42
55
16
Subjek 16
13
44
57
17
Subjek 17
13
55
58
18
Subjek 18
24
66
90
19
Subjek 19
14
43
57
20
Subjek 20
13
47
60
21
Subjek 21
14
43
57
22
Subjek 22
13
47
60
23
Subjek 01
20
49
69
24
Subjek 02
18
42
70
25
Subjek 03
17
43
70
26
Subjek 04
16
52
68
27
Subjek 05
20
50
70
28
Subjek 06
20
55
75
29
Subjek 07
18
50
68
30
Subjek 08
15
46
61
31
Subjek 09
20
65
85
32
Subjek 10
20
40
60
33
Subjek 11
19
51
70
34
Subjek 12
15
43
58

Pada tabel di atas, diketahui keseluruhan siswa memperoleh nilai hasil belajar lebih dari kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditetapkan, yaitu nilai 55.
Untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran siklus I, telah dilakukan refleksi terhadap kinerja guru dan siswa, yang dilakukan secara kolaborasi antara guru pelaksana tindakan dan pengamat.Adapun hasilnya, sebagai berikut.
1.      Kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang yang disajikan dengan menggunakan metode belajar konstruktivisme pada siklus I, diketahui meningkat. Peningkatan kinerja guru tersebut ditunjukkan oleh kemampuannya dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan mengevaluasi serta menindaklanjuti hasilnya. Berdasarkan hasil penilaian kedua orang pengamat, diperoleh rata-rata nilai cukup mampu untuk masing-masing tahap dalam proses pembelajaran tersebut.
2.      Kinerja siswa dalam mengikuti proses pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang yang disajikan dengan menggunakan metode belajar konstruktivisme pada siklus I, diketahui meningkat. Hal ini diketahui dari partisipasi, minat, perhatian, dan motivasi masing-masing siswa yang sebelumnya banyak yang tidak partisipasi, tidak berminat, tidak perhatian, dan tidak bermotivasi setelah melalui penggunaan strategi menjadi meningkat pada kategori kedua dan ketiga. Dari 34 orang siswa, yang sebelumnya diketahui ada 20 orang yang tidak partisipasi, tidak berminat, tidak perhatian, dan tidak bermotivasi meningkat menjadi kurang partisipasi, kurang berminat, kurang perhatian, dan kurang bermotivasi. Sementara itu, 14 orang siswa lainnya yang sebelumnya diketahui kurang partisipasi, kurang berminat, kurang perhatian, dan kurang bermotivasi menjadi cukup partisipasi, cukup berminat, cukup perhatian, dan cukup bermotivasi. Perubahan tersebut didasarkan pada hasil penilaian pengamat, seperti tertuang pada tabel 4.2.
3.      Dari 34 orang siswa diketahui ada 24 orang (70,58%) yang dinyatakan cukup mampu memenuhi tuntutan pembelajaran.  Sementara itu, selebihnya dari mereka, yakni 10 orang siswa (29,42%) dinyatakan kurang mampu memenuhi tuntutan pembelajaran.
4.      Belum mencapainya target kinerja yang diharapkan, baik oleh guru maupun siswa lebih disebabkan karena masing-masing belum terbiasa dengan langkah-langkah belajar berdasarkan metode konstruktivisme. Oleh karena itu, masih banyak siswa yang dinilai kurang mampu memenuhi tuntutan pembelajaran. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka pada PTK siklus II, akan diupayakan hal-hal berikut.
1)      Persiapan guru harus ditingkatkan, terutama dalam memahami langkah-langkah pengelolaan proses pembelajaran berdasarkan tuntutan metode konstruktivisme.
2)      Guru harus mampu mempertahankan dan meningkatkan hal-hal yang sudah cukup baik dalam mengelola proses pembelajaran siklus I. Guru harus mampu meningkatkan partisipasi, minat, perhatian, dan motivasi siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Hal-hal yang dianjurkan untuk itu, di antaranya mengaktifkan siswa melalui tanya jawab, pemberian tugas secara kelompok, pemberian penghargaan dan sanksi kepada siswa yang layak untuk mendapatkannya.
3)      Kinerja siswa meski meningkat, tetapi belum mencapai harapan, baik dilihat dari partisipasi, perhatian, minat, dan motivasi. Hal ini lebih disebabkan oleh karena siswa belum terbiasa dengan langkah-langkah belajar berdasarkan metode belajar konstruktivisme. Oleh karena itu, kepada siswa disarankan agar siklus II mulai membiasakan diri dengan langkah-langkah belajar bermakna. Adapun caranya untuk itu, yakni sebagai berikut.
(1)   Miliki persiapan fisik dan mental, agar dapat berkonsentrasi pada langkah-langkah belajar yang akan dijelaskan guru.
(2)   Bertanyalah kepada guru apabila ada di antara langkah-langkah belajar yang kurang dan atau belum dipahami dengan baik. Tidak usah ragu apalagi merasa malu untuk itu.
(3)   Belajarlah secara sungguh-sungguh, yang ditunjukkan dengan cara berpartisipasi secara aktif, pusatkan perhatian pada apa yang sedang dipelajari, minat dan motivasi belajar terus tingkatkan dengan cara fokus pada tujuan yang ingin dicapai setelah mengikuti proses pembelajaran. Selain itu, berusahalah untuk mencapai penghargaan yang akan diberikan guru, dan takutlah dengan sanksi yang akan diberikannya apabila kurang baik dalam proses dan hasil belajar.
(4)   Saling belajarlah dengan baik, karena masing-masing memiliki kelebihan yang sangat diperlukan oleh yang lain. Berjiwa lapanglah dalam memberi dan menerima masukan yang ditujukan untuk kebaikan.

b.   Hasil Penelitian Siklus II
Pelaksanaan pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang yang disajikan dengan menggunakan metode belajar konstruktivisme pada siklus II, dapat berlangsung dengan baik, seperti yang telah direncanakan.Aktivitas belajar siswa tampak lebih bermakna, baik pada saat mengonstruksi materi yang sedang dibahas oleh guru maupun pada saat belajar mengonstuksi secara bertahap tuntutan pembelajaran.Pada siklus II ini tidak lagi terlihat adanya siswa yang tinggal diam tidak turut ambil bagian dalam pembelajaran.Banyak siswa yang sebelumnya enggan untuk bertanya sehubungan dengan kekurangan pahamannya terhadap materi yang dipelajari, mereka mau bertanya.Adanya perubahan aktivitas belajar siswa pada siklus II ini tidak terlepas dari upaya yang dilakukan guru. Untuk itu, guru bukan saja memberikan bimbingan dan arahan tetapi selalu memotivasi dan memfasilitasi apa yang diperlukan oleh siswa sehingga dapat memenuhi tuntutan pembelajaran. Berdasarkan hasil pengamatan, penilaian, dan catatan dari kedua orang pengamat, menunjukkan sebagai berikut.
1.      Aktivitas guru dan siswa pada tahap kegiatan awal, mulai terbiasa dengan langkah-langkah prapembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang berdasarkan metode konstruktivisme. Guru dan siswa sudah tidak merasa kaku lagi, sehingga kegiatan awal dapat berlangsung cukup baik dari sebelumnya (kegiatan awal pada PTK siklus 1).
2.      Guru cukup berhasil memotivasi siswa, dengan cara akan memberikan penghargaan (reward) bagi siapa saja di antara siswanya yang berhasil mencapai hasil belajar lebih baik, dan kepada siswa yang kurang berhasil akan diberikan sanksi berupa pemberian tugas individu yang akan ditentukan nanti setelah proses pembelajaran siklus II berlangsung. Melalui upaya tersebut, ada perubahan pada sikap siswa yang ditunjukkan oleh partisipasi, perhatian, minat, dan motivasi belajarnya pada tahap pratindakan.
3.      Pada kegiatan inti siklus II, peran guru dan siswa sudah cukup mengenai sasaran. Guru tidak lagi menghabiskan waktu untuk menyajikan materi, melainkan lebih banyak membimbing dan mengarahkan siswa pada proses belajar yang sebenarnya dalam memenuhi tuntutan pembelajaran. Demikian pun dengan proses belajar siswa, tampak lebih baik dari sebelumnya, yang ditunjukkan oleh partisipasi masing-masing, perhatian terhadap penjelasan guru dan tugas, minat dan motivasi mengikuti proses pembelajaran. Tidak diketahui lagi adanya siswa yang kurang bersungguh-sungguh dalam mengikuti proses pembelajaran. Dari yang sebelumnya segan untuk bertanya kepada guru, pada siklus II sudah mulai banyak siswa yang berani bertanya kepada guru, terutama  tentang cara-cara memenuhi tuntutan pembelajaran.
4.      Terhadap siswa yang mengalami kesulitan dalam memenuhi setiap tuntutan pembelajaran, guru memberikan jalan keluar dengan cara memahamkan siswa pada tuntutan tersebut. Sebelum siswa dapat keluar dari kesulitannya, guru belum beranjak dari tempat duduk siswa yang bersangkutan. Tindakan ini, disambut dengan baik oleh siswa, dan karena itu pula yang bersangkutan dapat belajar lebih baik dalam suasana yang menyenangkan.
5.      Guru sudah mampu menebar pandangan kepada seluruh siswa, yang ditunjukkan oleh perhatiannya pada siapa saja yang menghadapi kesulitan dalam memenuhi tuntutan pembelajaran, maka segeralah ia membantu mencarikan jalan keluarnya hingga lepas dari kesulitan tersebut.
6.      Saat siswa sedang memenuhi tuntutan pembelajaran, guru berusaha memfasilitasi apa yang dibutuhkan siswa. Oleh karena itu, proses belajar siswa tampak lebih menyenangkan daripada sebelumnya.
Melengkapi catatan hasil pengamatan di atas, berikut ini disertakan penilaian para pengamat terhadap kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang yang disajikan dengan menggunakan metode belajar konstruktivisme di siklus II, seperti tertuang pada tabel berikut.
Tabel 4.4
Penilaian Pengamat terhadap Kemampuan Guru                                                dalam Mengelola Proses Pembelajaran Siklus II
No.
Indikator Kemampuan
Nilai Pengamat 1
Nilai Pengamat 2
Kuantitas
Kualitas
Kuantitas
Kualitas
1
Kemampuan menguasai kondisi awal pembelajaran
75
Cukup Mampu
74
Cukup Mampu
2
Kemampuan menjelaskan langkah-langkah pembelajaran
75
Cukup Mampu
75
Cukup Mampu
3
Kemampuan memotivasi siswa di awal pembelajaran.
75
Cukup Mampu
70
Cukup Mampu
4
Kemampuan mengondisikan siswa untuk mengikuti kegiatan inti pembelajaran.
75
Cukup Mampu
72
Cukup Mampu
5
Kemampuan menyajikan materi pembelajaran
75
Cukup Mampu
73
Cukup Mampu
6
Kemampuan bertanya kepada siswa dan menjawab pertanyaan dari siswa.
75
Cukup Mampu
74
Cukup Mampu
7
Kemampuan membimbing dan mengarahkan siswa dalam belajar.
75
Cukup Mampu
71
Cukup Mampu
8
Kemampuan membahas tugas.
70
Cukup Mampu
72
Cukup Mampu
9
Kemampuan memberikan penghargaan kepada siswa yang unggul dalam kemampuan memenuhi tuntutan pembelajaran.
70
Cukup Mampu
75
Cukup Mampu
10
Kemampuan memberi simpulan sehubungan dengan materi pembelajaran yang telah disampaikan kepada siswa.
70
Cukup Mampu
74
Cukup Mampu
11
Kemampuan melaksanakan evaluasi dan mengawasi jalannya evaluasi.
70
Cukup Mampu
73
Cukup Mampu
12
Kemampuan memberikan bahan tindak lanjut.
70
Cukup Mampu
72
Cukup Mampu
13
Kemampuan menutup kegiatan pembelajaran.
72
Cukup Mampu
75
Cukup Mampu
Jumlah
947

950

Rata-rata
72,9

73,1

Keterangan :
Nilai 76, 00 - 100,00, berarti mampu
Nilai 56,00 -  75,00, berarti cukup mampu
Nilai 26,00 -  55,00, berarti kurang mampu
Nilai 1,00   -  25,00, berarti tidak mampu

Bukan saja guru yang dinilai kemampuannya, tetapi juga siswa dalam mengikuti jalannya proses pembelajaran, baik dilihat dari minat, perhatian, partisipasi, maupun motivasi, seperti tertuang pada lembar observasi PTK siklus 2. Adapun hasil penilaian tersebut, dituangkan pada tabel berikut.
Tabel 4.5                                                                                                       Penilaian Pengamat terhadap Kemampuan Siswa                                                dalam Mengikuti Proses Pembelajaran pada Siklus II
No.
Nama
Minat
Perhatian
Partisipasi
Presentasi
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
Subjek 01












2
Subjek 02












3
Subjek 03












4
Subjek 04












5
Subjek 05












6
Subjek 06












7
Subjek 07












8
Subjek 08












9
Subjek 09












10
Subjek 10












11
Subjek 11












12
Subjek 12












13
Subjek 13












14
Subjek 14












15
Subjek 15












16
Subjek 16












17
Subjek 17












18
Subjek 18












19
Subjek 19












20
Subjek 20












21
Subjek 21












22
Subjek 22












23
Subjek 01












24
Subjek 02












25
Subjek 03












26
Subjek 04












27
Subjek 05












28
Subjek 06












29
Subjek 07












30
Subjek 08












31
Subjek 09












32
Subjek 10












33
Subjek 11












34
Subjek 12












Keterangan:
Nilai 4 :Baik
Nilai 3 :Cukup Baik
Nilai 2 : Kurang Baik
Nilai 1 : Tidak Baik

Selain itu, melalui evaluasi pembelajaran siklus II dapat diketahui nilai kemampuan untuk masing-masing siswa.Dari 34 orang siswa diketahui ada 31 orang (91,17%) yang dinyatakan mampu memenuhi tuntutan pembelajaran. Sementara itu selebihnya dari mereka, yakni 3 orang siswa (8,03%) dinyatakan masih cukup mampu.  Adanya nilai hasil belajar siswa dari siklus 1 ke siklus 2, tampak seperti tertuang pada tabel berikut.
Tabel 4.6
Nilai Hasil Belajar Siswa pada Siklua II
No.
Nama                            Siswa
Sesudah PTK Siklus II
Kemampuan 1
Kemampuan 2
NK
1
Subjek 01
23
52
75
2
Subjek 02
21
54
75
3
Subjek 03
20
58
78
4
Subjek 04
19
56
75
5
Subjek 05
20
60
80
6
Subjek 06
20
59
79
7
Subjek 07
18
60
78
8
Subjek 08
19
56
75
9
Subjek 09
24
63
87
10
Subjek 10
22
41
63
11
Subjek 11
18
52
70
12
Subjek 12
19
59
78
13
Subjek 13
25
69
94
14
Subjek 14
25
67
92
15
Subjek 15
14
49
63
16
Subjek 16
14
56
70
17
Subjek 17
14
55
69
18
Subjek 18
19
56
75
19
Subjek 19
17
62
79
20
Subjek 20
20
60
80
21
Subjek 21
14
50
64
22
Subjek 22
20
60
80
23
Subjek 01
23
52
75
24
Subjek 02
21
54
75
25
Subjek 03
20
58
78
26
Subjek 04
19
56
75
27
Subjek 05
20
60
80
28
Subjek 06
20
59
79
29
Subjek 07
18
60
78
30
Subjek 08
19
56
75
31
Subjek 09
24
63
87
32
Subjek 10
22
41
63
33
Subjek 11
18
52
70
34
Subjek 12
19
59
78

Berdasarkan hasil refleksi siklus II, dapat diketahui keberhasilan dan kegagalan pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang yang disajikan dengan menggunakan metode belajar konstruktivisme di putaran ini.Adapun hasilnya, sebagai berikut.
1.      Kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang pada siklus II, diketahui lebih baik dari siklus sebelumnya. Peningkatan kinerja guru tersebut ditunjukkan oleh kemampuannya dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan mengevaluasi serta menindaklanjuti hasilnya. Berdasarkan hasil penilaian kedua orang pengamat, diperoleh rata-rata nilai cukup mampu untuk masing-masing tahap dalam proses pembelajaran tersebut.
2.      Kinerja siswa dalam mengikuti proses pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang pada siklus II, diketahui lebih baik dari siklus sebelumnya. Hal ini diketahui dari partisipasi, minat, perhatian, dan motivasi masing-masing siswa yang sebelumnya (pada siklus I) banyak yang kurang partisipasi, kurang berminat, kurang perhatian, dan kurang bermotivasi setelah melalui penggunaan strategi menjadi meningkat pada kategori ketiga dan keempat. Dari 34 orang siswa, diketahui ada 31 orang (91,17%) yang sebelumnya kurang partisipasi, kurang berminat, kurang perhatian, dan kurang bermotivasi meningkat menjadi cukup partisipasi, cukup berminat, cukup perhatian, dan cukup bermotivasi. Sementara itu, 3 orang siswa (8,03%) lainnya yang sebelumnya diketahui cukup partisipasi, cukup berminat, cukup perhatian, dan cukup bermotivasi menjadi mampu berpartisipasi, minatnya lebih tinggi, mampu memperhatikan, dan lebih bermotivasi. Perubahan tersebut didasarkan pada hasil penilaian pengamat, seperti tertuang pada tabel 4.5.
3.      Dari 34 orang siswa diketahui secara keseluruhan dinyatakan tuntas.
4.      Cukup tercapainya target kinerja yang diharapkan, baik oleh guru maupun siswa lebih disebabkan karena masing-masing sudah terbiasa dengan langkah-langkah belajar mengajar berdasarkan metode belajar konstruktivisme.

c.    Pembahasan
Setelah melakukan penelitian dan menganalisis hasilnya, terbuktilah bahwa penerapan metode belajar konstruktivisme dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang. Peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa tidak saja terjadi pada siklus II tetapi pada siklus I pun seluruh siswa mengalami peningkatan ke arah yang lebih baik dari sebelum diterapkan metode ini.
Meningkatnya aktivitas belajar siswa pada siklus I ditandai oleh partisipasi, perhatian, minat, dan motivasi belajar yang cukup tinggi.Oleh karena itu, hasil belajar masing-masing siswa pada siklus I mencapai kriteria ketuntasan minimal.Namun, hasil tersebut masih dianggap kurang memuaskan bagi guru dan juga siswa.Atas dasar itu, maka dilaksanakan kembali siklus II.Adanya peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran siklus I, tidak terlepas dari meningkatnya eksistensi kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran.
Peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa kembali terjadi pada pembelajar siklus II.Partisipasi, perhatian, minat, dan motivasi belajar siswa pada siklus II ini, jauh lebih baik daripada siklus I. Sehingga hasil belajarnya pun turut meningkat lebih baik.Bahkan keseluruhan siswa perolehan nilainya melebihi nilai kriteria ketuntasan minimal yang telah ditetapkan.Hal ini pun tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan hasil usaha guru.
       Dengan demikian, penerapan metode belajar konstruktivisme untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas I SD Negeri 1 Mekarsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis dalam pembelajaran menggunakan pengukuran waktu dan panjang, dinyatakan berakhir pada siklus II. Hal ini karena baik guru maupun siswa sudah merasa puas dengan peningkatan yang terjadi pada siklus akhir ini.

H.    Simpulan
Setelah melakukan pembahasan terhadap hasil penelitian, dapat diambil suatu simpulan guna menjawab pokok masalah penelitian, yakni sebagai berikut.
1.      Penggunaan metode belajar konstruktivisme dalam pembelajaran matematika tentang menggunakan pengukuran waktu dan panjang menempuh empat tahapan, yakni: (1) merencanakan KBM, (2) melaksanakan KBM, (3) mengevaluasi kemampuan siswa, dan (4) menindaklanjuti hasil evaluasi. Keempat tahapan tersebut dapat dilalui dengan baik oleh guru dan siswa kelas I SD Negeri 1 Mekarsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis.
2.      Kemampuan menggunakan pengukuran waktu dan panjang pada siswa kelas I SD Negeri 1 Mekarsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis dapat ditingkatkan melalui penggunaan metode belajar konstruktivisme.

I.       Daftar Pustaka
Amat, Mukadis. 2006. Pengorganisasian Isi Pembelajaran Tipe Prosedural. Malang: Universitas Negeri Malang.
Arikunto, Suharsimi. 2005.Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Arief, Aminudin. 1989. Dinamika Kegiatan dalam Strategi Belajar Mengajar. Malang: LSW.
Dengeng, I Nyoman Sudana. 2000. Peran Teknologi Pembelajaran di Era Kesemrawutan Global, Makalah Seminar Nasional Teknologi Pendidikan. Jakarta: Forum Komunikasi Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Pendidikan UNJ.
……………………………….,1989. Ilmu Pembelajaran Taksonomi Variabel. Jakarta:Depdikbud, Dirjen Dikti: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tinggi.
……………………………….,1988. Pengorganisasian Pengajaran Berdasarkan Teori Elaborasi dan Pengaruhnya terhadap Perolehan Belajar Informasi Verbal dan Konsep. Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor di Bidang Teknologi Pengajaran. Malang:FPS IKIP Malang.
Dimyati, M. 1989. Landasan Kependidikan. Jakarta:Dirjen Dikti Depdikbud RI.
Dimyati, M. dan Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:Rineka Cipta.
Gagne, R. M. 1986. The Condition of Learning. New York: Holt, Rinehart and  Winston.
Gagne, R.M & Briggs, J.L. 1988. Principles of  Instuctional Technology Second Edition. New York: Holt, Rinehart and  Winston.
Herawati, Susilo. 2006. Pelaporan Penelitian Tindakan Kelas. Malang: LSW.
Hermawan, Asep. 2007. Strategi Belajar Mengajar Berorientasi Contextual Teaching and Learning. Ciamis: Universitas Galuh Press.
Lemlit, U.M. 2006.Pedoman Penyusunan Proposal dan Laporan Penelitian Tindakan Kelas. Malang: LPUNM.

Millis, Jamie D. 2005. Teaching The Mixed Model Design. www. Findarticles.com/p/articles/ml.qa3673/2005ai-nl3633258.
Saifudin, Anwar. 1998. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yagyakarta: Liberty.
Sa’dun, Akbar. 2006. Penyusunan Proposal Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Suhadi, Ibnu. 2006. Dinamika Pembelajaran Berorientasi Konstruktivisme. Jakarta: Rineka Cipta.
Uno, B. Hamzah. 2007. Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta:Bumi Aksara.
Winkel, WS. 1983. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: Gramedia.